Muhib Share

Motivasi Menulis
'Aqidatul Islamiyah

'Aqidatul Islamiyah

KELEBIHAN ILMU

    Dalil yang mengenai kelebihan ilmu pengetahuan dari Al-Qur’an : ( Ali Imron Ayat 18 )
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَإِلٰهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلٰئكَةُ وَأُوْلُوْالعِلْمِ قَائِماًَ بِالْقِسْطِ لاَإِلٰهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
    “Allah mengakui bahwa sesungguh nya tidak ada Tuhan selain dari padanya dan Malaikat-malaikat mengakui dan orang-orang berilmu tegak dengan keadilan”.
    Lihatlah,betapa Allah swt memulai dengan dirinya sendiri dan menduai dengan malaikat dan menigai dengan ahli ilmu.cukuplah kiranya dengan ini buat kita sebagai pertanda kemuliaan,keutamaan dan ketinggian orang-orang yang berilmu.
    Orang berilmu itu ( ulama ) adalah pewaris dari Nabi-nabi,sebagai di maklumi bahwa tak ada lagi pangkat di atas pangkat kenabian.dan tak ada lagi kemuliaan yang melebihi dari kemuliaan menjadi ahli waris dari pangkat tersebut.
    Pada hadits di sebutkan “isi langit dan isi bumi meminta ampun untuk orang yang berilmu”.       
Manakah kedudukan yang melebihi kedudukan dimana para Malaikat di langit dan di bumi selalu meminta ampun bagi yang berilmu.orang berilmu sibuk dengan urusannya dan para malaikat sibuk pula dengan meminta ampun kepada Allah bagi orang yang berilmu.
    Nabi Muhammad saw bersabda : “iman itu tidak berpakaian,pakaiannya ialah taqwa,perhiasannya ialah malu,dan buahnya ialah ilmu.
    Nabi Muhammad saw bersabda : “barang siapa memahami agama Allah niscaya dicukupkan Allah akan kepentingannya dan diberi rizqi di luar dugaan.
    Nabi Muhammad saw bersabda : “Allah berwahyu kepada Nabi Ibrohim ‘alaihissalam, “hai Ibrohim,bahwasannya Aku maha tahu,menyukai tiap-tiap orang yang tahu (berilmu ).
    Nabi Muhammad saw bersabda : “orang yang berilmu itu adalah kepercayaan Allah swt di bumi “.
    Lihatlah Nabi Muhammad saw membuat perbandingan antara ilmu pengetahuan dan derajat kenabian,dan bagaimana Nabi mengurangkan kedudukan amal ibadah yang tidak


                                                                                       
     Nabi Muhammad saw bersabda : “yang memberi syafaat pada hari kiamat ialah 3 golongan yaitu : para Nabi kemudian alim ulama’ dan kemudian para syuhada’.
     Nabi Muhammad saw bersabda : “antara orang ‘alim dan ‘abid seratus derajat jaraknya,jarak antara dua derajat itu dapat di capai dalam masa tujuh puluh tahun oleh serkor kuda pacuan.
     Ibnu Mubarok tidak memasukkan orang tak berilmu dalam golongan manusia,karena pertanda utama yang membedakan antara manusia dan hewan ialah ilmu,maka manusia itu adalah manusia,dimana ia menjadi mulia karena ilmu,dan tidaklah yang demikian itu disebabkan kekuatan dirinyaq,onta adalah lebih kuat dari pada manusia,bukanlah karena besarnya,gajah lebih besar dari pada manusia, bukanlah karena beraninya,binatang buas lebih berani dari pada manusia, bukanlah karena banyak makannya,perut lembu lebih besar dari perut manusia.bukanlah karena pergaulannya,burung pipit yang paling rendah lebih banyak bergaul bila di banding dengan manusia.maka tegaslah,manusia itu di jadikan untuk berhidmat kepada ilmu pengetahuan.
     Fathul Mausuli rohimahumullah berkata: “bukanlah orang sakit itu apa bila tak mau makan ,minum dan obat lalu mati? Menjawab orang disekelilingnya,benar.lalu meyambung Fathul Mausuli “ begitulah hati apa bila tak mau kepada ilmu pengetahuan dalam 3 hari,maka matilah hati itu.
     Kita memohon kepada Allah akan husnul khotimah.


KEUTAMAAN BELAJAR

     Ayat yang menerangkan keutamaan belajar yaitu firman Allah Ta’ala : ( s.Al-Baqoroh 122 )

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍِ مِنْهُمْ طَائِفَةٌُ لِيَتَفَقَّهُوْا فِي لدِّيْنِ

     “Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama”.
     Dan firman Allah ‘Azza wa jalla: (s.An-Nahal 43 )

فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ

      “Maka bertanyalah kamu kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu.” 
     Adapun hadits Nabi saw diantara lain sabdanya: “barang siapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu maka dianugrahi Allah kepada nya jalan di surga.”
     Dan sabda Nabi Muhammad saw, : “bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik dari pada engkau melakukan sholat seratus rokaat.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “satu bab dari ilmu pengetahuan yang di pelajari seseorang adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “tuntutlah ilmu walaupun kenegeri cina sekalipun.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “menghadiri majlis orang berilmu lebih utama dari pada mendirikan sholat seribu rokaat,mengunjungi seribu orang sakit dan berta’ziah seribu janazah,” lalu orang bertanya: wahai Rosulullah dari membaca Al-Quran?,maka menjawab Nabi saw. “adakah berguna Al-Quran itu selain dengan ilmu?”                  5  
     Imam As-syafi’I berkata: “menuntut ilmu adalah lebih utama dari pada berbuat ibadah sunah.
     Abu’d-darda’ berkata: “barang siapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad maka adalah dia orang yang kurang pikiran dan akal.”
     Kita memohon kepada Allah taufiq yang baik.


KEUTAMAAN MENGAJAR

     Ayat yang menerangkan keutamaan mengajar yaitu firman Allah ‘Azza wa jalla: (s.Al-Baqoroh 122)

وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

     “supaya mereka dapat memberikan peringatan kepada kaum nya bila telah kembali kepada mereka mudah-mudahan mereka berhati-hati.”
Yang di maksud ialah mengajar dan memberi petunjuk.
     Dan firman Allah ta’ala: (s.Ali Imron 187)
                                                                                      6

وَإِذَ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ للِنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُوْنَهُ
     “Tatkala diambil oleh Allah akan janji dari mereka yang di berikan kitab supaya di terangkannya kepada manusia dan tidak di sembunyikannya.” Ini membuktikan akan kewajiban mengajar.
     Nabi Muhammad saw bersabda: “tidak di berikan Allah kepada seseorang yang berilmu akan ilmu pengetahuan melaimkan telah diambilnya janji seperti yang diambilnya kepada Nabi-nabi bahwa mereka akan menerangkan pengetahuan itu kepada manusia dan tidak menyembunyikan.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “barang siapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkannya kepada manusia maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang shiddiq(orang yang selalu benar,membenarkan Nabi).”
     Nabi Isa as bersabda: “barang siapa berilmu dan beramal serta mengajarkannya maka orang itu di sebut “orang besar” di srgala petala langit.”
                                                                                      7                                                                                     
     Nabi Muhammad saw bersabda: “bahwa Allah swt tidaklah mencabut ilmu pengetahuan dari seorang manusia yang telah dianugrahi Nya tetapi pengetahuan itu pergi dengan meninggal nya para ahli ilmu.tiap-tiap kali meninggal seorang ahli ilmu maka pergilah bersamanya ilmu-ilmu pengetahuannya,sehingga tak ada yang tinggal lagi selain dari orang-orang yang bodoh.jika di tanya lalu memberi fatwa dengan tiada ilmu,maka sesatlah mereka sendiri dan menyesatkat pula akan orang lain.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “barang siapa mengetahui suatu ilmu lalu menyembunyikan nya maka dia diberikan Allah kekang dengan kekang api neraka pada hari kiamat.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “bahwasanya Allah swt,Malaikat-malaikat,isi langit dan bumi,sampai kepada semut di dalam lobang dan ikan di laut,semuanya berdo’a kebajikan kepada orang yang mengajar manusia.”
     Nabi Muhammad saw bersabda: “sepatah kata kebajikan yang di dengar oleh seorang mu’min lalu diajarinya dan diamalkannya,adalah lebih baik baginya dari ibadah setahun.”
                                                                                      8  
     Pada suatu hari Nabi Muhammad saw keluar berjalan-jalan,lalu melihat dua majlis.yang satu mereka itu berdo’a kepada Allah dengan sepenuh hati,yang satu lagi mengajarkan manusia.maka bersabda Nabi Muhammad saw: “adapun mereka itu bermohon kepada Allah ,jika dikehendaki Allah maka dikabulkannya.jika tidak,maka ditolaknya.sedang mereka yang satu majlis lagi mengajarkan manusia dan aku ini diutus untuk mengajar,” kemudian Nabi menoleh ke majlis orang mengajar,lalu duduk bersama mereka.
     Nabi Muhammad saw bersabda: “di bangkitkan aku oleh Allah dengan petunjuk dan ilmu adalah seumpama hujan lebat yang menyirami bumi diantaranya ada sepotong tanah yang menerima air hujan itu,lalu tumbuhlah banyak rumput dan ilalang,diantaranya ada yang dapat membendung air itu,sehinga berguna kepada manusia untuk di minum,menyiram dan bercocok tanam,dan ada sebagian tempat yang tidak membendung air itu dan tidak dapat menumbuhkan rumput.”
     Al-Hasan ra.berkata: “kalau tak ada orang yang berilmu maka jadilah manusia itu seperti hewan.dengan mengajar       
                                                                                      ( 9 )                     
Para ahli ilmu,mengeluarkan manusia dari batas kehewanan kepada batas ke manusiaan.”
     Karena ilmu itu,kehidupan hari dari kebutaan,sinar mata dari kejholiman dan tenaga badan dari kelemahan.dengan ilmu sampai ketempat orang baik.baik dan derajat yang tinggi.memikirkan ilmu seimbang dengan puasa.mengulanginya seimbang dengan mengerjakan sholat.dengan ilmu orang that kepada Allah,beribadah,bertauhid menjadi mulia .menjadi wara’ menyambung silaturrahmi dan mengetahui halal dan harom.ilmu itu iman dan amal itu pengikutnya.di ilhamkan ilmu kepada orang-orang berbahagia dan di haromkan kepada orang-orang celaka.
     Ya Allah tunjikilah kami jalan yang lurus.







                                                                                      ( 10 )

    Bab
      2
 


      PENJELASAN ILMU YANG FARDLU ‘AIN,FARDLU KIFAYAH,KEDUDUKAN ILMU KALAM DAN FIQIH  


      Berbeda pendapat manusia mengenai ilmu yang menjadi fardlu ‘ain atas tiap-tiap muslim.sampai berpecah lebih dari dua puluh golongan.kami disini tidak menguraikannya secara terperinci.
      Kesimpulannya,masing-masing golongan itu menempatkan fardlu ‘ain pada ilmu yang dipilih nya.berkata ulama’ ilmu kalam,”yaitu ilmu kalam yang fardlu ‘ain karena dengan ilmu kalam di ketahui ke esaan Allah,zat dan sifatnya.” Berkat ulama’ fiqih  “yaitu ilmu fiqih yang fardlu ‘ain karena dengan ilmu fiqih di ketahui cara beribadah,halal dan harom,apa yang di haromkan dan yang di halalkan dari hukum mu’amalah.ulama’ fiqih berusaha dengan susah payah membentang apa yang di perlukan masing-masing orang,sampai pada soal-soal yangjarang terjadi.” Berkata ulama’ tafsir dan ulama’ hadits “ yaitu ilmu kitab dan sunnah
                                                                                      ( 11 )
 yang fardlu ‘ain karena dengan perantaraan keduanya bias sampai kepada ilmu-ilmu yang lain seluruhnya,” berkata ulama’ tasawuf “ yaitu ilmu tasawuf, di antara mereka mengatakan bahwa ilmu tasawuf itu ialah pengetahuan seseorang dengan dirinya dan kedudukannya dari Allah ‘azza wa jalla.di antara mereka mengatakan bahwa ilmu tasawuf itu ialah mengetahui ke ikhlasan dan penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri dan untuk membedakan antara langkah Malaikat dan langkah setan.diantara mereka mengatakan bahwa ilmu tasawuf itu ilmu batin.dari itu di wajibkan mempelajarinya bagi golongan tertentu.di mana mereka ahli untuk itu dan dapat mena’wilkan kata-kata dari umumnya.
      Demikianlah sebenarnya mengenai pengetahuan yang fardlu ‘ain.artinya,mengetahui cara amal perbuatan yang wajib.maka orang yang mengetahui pengetahuan yang wajib dan waktu wajibnya.berarti dia sudah mengetahui ilmu pengetahuan yang fardlu ‘ain.
      Seorang ahli fiqih ialah seorang yang tahu dengan undang-undang siasat,jalan menengahi di antara orang banyak.apa bila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu.jadi
                                                                                      ( 12 )
 ahli fiqih itu adalah guru dari sultan dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur rakyat banyak supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka.
      Pada setengah riwayat: “yang memikul beban itu ialah orang yang bekerja dengan ria’ maka orang yang mau memikul resiko dengan menyatakan sesuatu fatwa,sedang dia tidak di tugaskan untuk itu.maka dapat di paham akan tujuan orang tersebut yaitu mencari kemegahan dan harta.”
      Seorang ahli fiqih memperkatakan tentang yang shah dari padanya.tentang yang batal dan tentang syarat-syarat,dan tidaklah di perhatikan padanya selain kepada lisan.dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang ahli fiqih.karena Nabi Muhammad saw meletakkan pemegang pedang dan kekuasaan di luar hati.dengan sabdanya: “mengapa tidak engkau pisah kan hatinya?.” Sabda itu di tujukan Nabi saw kepada seorang pembunuh,yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimat islam dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut kepada pedang.
      Mengenai sholat,maka seorang ahli fiqih itu berfatwa dengan shah bila sholat itu di kerjakan dengan bentuk segala perbuatan sholat serta jelas syarat-syaratnya.meskipun lengah
                                                                                      ( 13 )                                
 dalam seluruh sholat dari awal sampai akhirnya.asyik berfikir menghitung penjualan di pasar,kecuali ketika bertakbir.
      Sholat semacam itu tidaklah bermanfa’at di akhirat.seumpama pengucapan dengan lisan mengenai islam tak adalah mamfa’atnya.tetapi ahli fiqih berfatwa dengan shahnya,artinya apa yang telah di kerjakan telah berhasil menurut perintah dan hapuslah dari padanya hukum bunuh dan dera.
      Adapun khusyu’ dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuatan akhirat dan dengan itu bermanfa’atlah amal jhohir.maka tidaklah di singgung-singgung oleh ahli fiqih.kalaupun ada maka adalah diluar bidangnya.
      Menurut cerita,bahwa kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada ahir tahun kepada istrinya dan ia sendiri menerima pemberian harta istrinya untuk menghindari zakat,maka di ceritakan hal itu kepad imam Abu Hanifah ra,imam Abu Hanifah menjawab: “itu dari segi fiqihnya benar,tetapi dari fiqih duniawi.di akhirat kemelaratan nya lebih besar dari segala penganiayaan.”
      Adapun ulama’ fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan umut yakni mereka yang madzhabnya mempunyai banyak pengikut.ada lima yaitu: Asy-Syafi’i, (14)                                                      
Malik, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsuri.Rohmat Allah kiranya kepada mereka sekalian.masing-masing mereka adalah ‘abid (kuat beribadah),zahid (tidak terpengaruh oleh dunia), ‘alim dengan semua ilmu akhirat,paham akan kepentingan umat di dunia dan maksudnya dengan fiqihnya itu adalah WAJAH ALLAH semata-mata.inilah lima perkara,dimana yang di ikuti oleh ulama’ fiqih sekarang dari keseluruhannya.hanya satu perkara saja,yaitu memburu dan bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang.karena yang empat perkara itu,tidaklah layak melainkan untuk akhirat dan yang satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat.jikalau di maksudkan dengan dia itu akhirat,maka kuranglah gunanya untuk dunia.
      Marilah,sekarang kami bentangkan hal ihwal mereka yang menunjukkan kepada empat perkara tadi.karena pengetahuan mereka tentang fiqih sudah jelas.
      Adapun imam Asy-Syafi’i,maka yang menunjukkan ia seorang ‘abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam tiga bagian: 1/3 untuk ilmu,1/3 untuk ibadah dan 1/3 lagi untuk tidur.

                                                                                      ( 15 )                                         
      Ar-Rabi’ berkat: “ imam Asy-Syafi’I menghatamkan Al-Qur’an dalam bulan Romadhon enam puluh kali,semua itu dalam sholat.”
      Al-Hasan Al-Karabisi berkata: “Aku bersama imam Asy-Syafi’i bukan satu malam dia melakukan sholat hamper 1/3 malam.tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh ayat,apabila dia perbanyak maka sampai seratus ayat.apabila membaca ayat RAHMAT lalu berdo’a kepada Allah swt untuk dirinya sendiri dan untuk sekalian kaum muslimin dan mu’minin.dan apabila ia membaca ayat ‘AZAB lalu memohon perlindungan dan kelepasan dari padamya untuk dirinya sendiri dan untuk orang mu’min lainnya.seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan takut.”      
      Imam Asy-Syafi’i perena berkata: “Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun,karena kekenyangan itu memberatkat tubuh,mengesatkan hati,menghilangkan cerdik,menarik tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah.”
      Lihatlah falsafatnya tentang penyakit-penyakit yang di timbulkan oleh kekenyangan,kemudian mengenai
                                                                                      ( 16 )   
kerajinannya beribadah.sampai ia meninggalkan kekenyangan karena ibadah.dan pokok beribadah ialah menyedikit makan.
      Imam Asy-Syafi’i berkata: “tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah,baik dalam hal yang benar apalagi bohong.”
      Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah swt dan di buktikan oleh demikian atas keyakinannya dengan kebesaran Allah swt.
      Ditanyakan imam Asy-Syafi’i tentang suatu masalah, maka ia diam.ketika di tanyakan lagi,mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati tuan, maka beliau menjawab: “aku berpikir sehingga aku mengetahui mana yang lebih baik,aku diam atau menjawab,”
      Lihatlah,betapa diawasinya lidahnya,sedang lidah itu adalah senjata yang paling berkuasa bagi ulama fiqih dan paling payah mengekang dan menundukkannya.dengan itu dia tidak berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.
      Adapun zuhudnya maka berkata imam Asy-Syafi’i : “barang siapa mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara cintanya kepada dunia dan kepada Allah dalam hati nuraninya maka dia itu berbohong.”                          ( 17 )                                                             
      Pada suatu hari,imam Asy-Syafi’i keluar dari kamar mandi umum,lalu di berikannya uang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu.pada suatu hari tongkat nya jatuh dari tangannya,lalu tongkat itu diangkat orang dan di serahkan kepadanya.maka untuk berterima kasih kepada orang itu,lalu imam Asy-Syafi’i memberikan uang 50 dinar.
      Kerahiman hati imam Asy-Syafi’i adalah lebih terkenal dari pada apa yang di ceritakan.pokok zuhud ialah kemurahan hati karena orang yang mencintai sesuatu benda,akan memegangnya erat-erat.tidak ingin berpisah dari padanya.maka orang tidak mau berpisah dari harta selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya,dan itulah arti zuhud.
      Firman Allah swt (s.Fathir.28 )
إِنَّمَا يَخْشَي اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰؤُا

      “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambanya ialah ulama.”
      Maka imam Asy-Syafi’i tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu dari ilmu kitab berjual-beli dan sewa
                                                                                      ( 18 )     
-menyewa dan lain-lain kitab fiqih,tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari Al-qur’an dan Hadits.karena hukum dari orang-orang yang terdahilu dan yang kemudian.tersimpan di dalam keduanya.
      Adapun tentang ke ‘alimannya,mengetahui segala rahasia di dalam hati dan ilmu-ilmu akhirat,maka dapatlah di kenal dari kata-kata hikmat yang berasal dari padanya.
      Menurut riwayat,pernah orang bertanya kepada imam Asy-Syafi’i tentang ria’,maka ia menjawab denga tegas.” Ria’ adalah suatu mala petaka yang di timbulkan hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati ulama-ulama.mereka tertarik kepada ria’ itu.di sebabkan salah pilihan jiwa maka binasalah segala amalan.”
      Imam Asy-Syafi’i berkata: “ apabila engkau takut timbul ‘ujub pada amalanmu maka pandanglah kepada rela Allah yang engkau cari.pada pahala yang engkau gemari,pada siksa yang engkau ngeri,pada sehat yang engkau syukuri,pada bencana yang engkau ingati.apabila engkau renungkan salah satu dari perkara-perkara tadi maka kecillah rasa nya pada mata amalanmu itu.”

                                                                                      ( 19 )                                                 
      Lihatlah bagaimana imam Asy-Syafi’i menerangkan hakikat ria’ dan cara mengobati ‘ujub,dua macam penyakit besar bagi jiwa.
      Imam Asy-Syafi’i berkata: “barang siapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmu nya.”
      Abdul Qodir bin Abdul ‘aziz adalah seorang sholeh yang wara’ lalu bertanya kepada imam Asy-Syafi’i tentang masalah wara’ itu. Imam Asy-Syafi’i amat suka menerima kedatangan nya karena wara’nya. Maka pada suatu hari bertanyalah ia kepada imam Asy-Syafi’i . “mana yang lebih utama,sabar atau diuji atau di beri keteguhan hati?”
      Maka imam Asy-Syafi’i menjawab: “diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi-nabi,dan tak ada keteguhan hati itu selain sesudah di uji.apabila di uji maka bersabar.apabila sudah bersabar maka teguhlah hati.tidaklah engkau lihat bahwa Allah swt menguji Nabi Ibrahim kemudian memberikannya ketetapan hati.Allah menguji Nabi Musa kemudian memberikannya ketetapan hati.Allah uji Nabi Ayub kemudian memberikannya ketetapan hati.maka ketetapan hati itu adalah derajat yang paling utama.
      Firman Allah swt (s.Yusuf 21 )
                                                                                      ( 20 )

وَكَذٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوْسُفَ فِيْ اْلأَرْضِ

      “Dan begitulah kami teguhkan kedudukan Yusuf di muka bumi.” 
      Nabi Ayub sesudah menghadapi ujian besar barulah di beri kedudukan.
      Firman Allah swt :
وَأٰتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَ مِثْلَهُمْ مَّعَهُمْ . أَلأية


      “Kami berikan kepadanya pengikut-pengikut nya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula.” 
      Kata-kata tersebut dari imam Asy-Syafi’i menunjukkan betapa tingginya paham akan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an dan peninjauannya kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah swt baik Nabi-nabi atau wali-wali.semuanya itu adalah dari ilmu akhirat.
      Imam Asy-Syafi’i di tanya, “bilakah seorang itu di pandang ‘alim?,” Ia menjawab: “apabila ia yakin pada suatu
                                                                                      ( 21 )                                                                           
ilmu lalu diajarinya ilmu itu.kemudian ia menempuh ilmu-ilmu yang lain.maka dilihatnya,mana yang belum di perolehnya.ketika itu barulah dia seorang ‘alim.
      Ketahuilah! Bahwa pokok yang menimbulkan keserupaan ilmu yang tercela dengan ilmu yang terpuji ialah penyelewengan dan penukaran maksud-maksud yang terpuji dengan tujuan-tujuan yang batil dengan pengertian-pengertian yang tidak di kehendaki oleh orang-orang sholeh terdahulu dan oleh abad pertama.
      Yaitu 5 perkara : Fiqih,Ilmu,Tauhid,Tazkir dan Hikmah.inilah nama-nama ilmu yang terpuji.orang-orang yang bersifat dengan nama-nama tadi,adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam agama. Tetapi sekarang nama-nama itu sudah dialihkan kepada pengertian-pengertian yang tercela.sehingga hati lari dari pimpinan orang-orang yang bersifat dengan pengertian-pengertian itu.karena pemakaian nama-nama itu kepada mereka.

1.    Fiqih

      Telah di selewengklan pemakaiannya secara tertentu.tidak dengan dipindahkan dan diputarkan kepad yang lain.mereka
                                                                                 ( 22 )       
mereka tentukan sekarang pemakaian fiqih itu kepada pengetahuan furu’ (cabang) agama.yang ganjil mengenai fatwa.mengetahui sebab-sebab yang mendalam dari fatwa itu.memperbanyak pembicaraan di dalamnya.menghafal kata-kata yang berhubungan dengan fatwa tadi.
      Maka orang yang amat mendalaminya banyak bebuat dan memberi tenaga kepadanya di sebut Al-Afqoh (yang ahli ilmu fiqih).
      Pada masa pertama dahulu,nama fiqih itu di tujukan kepada pengetahuan jalan akhirat.kepada mengenal penyakit jiwa (bathin) dan yang merusak amal perbuatan.teguh pendirian dengan pandangan leceh kepada dunia.sangat menuju perhatian kepada ni’mat akhirat dan menekankan ketakutan di dalam hati.
      Firman Allah swt (s.At-Taubah 122):


لِيَتَفَقَّهُوْا فِيْ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ



                                                                                      ( 23 )                                                                                    
      “untuk mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali dari menuntut ilmu kepada mereka.”
      Ilmu yang menghasilkan pengertian dan penakutan itulah fiqih namanya.di maksud dengan fiqih ialah,pengertian-pengertian ke imanan bukan mengeluarkan fatwa.kata-kata Alfaqh dan Al-Fahm menurut bahasa ada dua nama dengan satu arti dan di pergunakan demikian.menurut kebiasaan pemakai.baik dahulu atau sekarang.
      Firman Allah swt (s.Al-Hasyr 13):

لأَنْتُمْ أَشَدَّ رَهْبَةًَ فِي صُدُوْرِهِمْ مِّنَ اللهِ .ألاية

      “kamu sangat di takuti dalam hati mereka,lebih dari Allah.”
      Maka di bawa oleh kurang takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk sehingga menjadi kurang faham (fiqih).
      Sa’ad bin Ibrahim Az-Zuhri ditanya oleh seseorang, “siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih Faham (fiqih)? “beliau menjawab: “ yang lebih kuat taqwanya
                                                                                      ( 24 )
 kepada Allah swt.” Seakan-akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham (fiqih).dan taqwa adalah hasil dari ilmu bathin.bukan hasil dari fatwa dan hukum.
      Nabi Muhammad saw bersabda: “apakah aku terangkan kepadamu orang ahli faham (fiqih) yang sebenarnya?.”  Ya! Jawab mereka.maka Nabi bersabda: “orang yang tidak memberikan putusan orang lain dari rahmat Allah.menyelamatkan orang lain dari kutuk Allah.tiada membawa orang lain kepada putus asa dari kasih saying Allah.dan tidak meninggalkan Al-Qur’an karena gemar kepada yang lain.”
      Farqad As-Subhi bertanya kepada Al-Hasan mengenai suatu hal,maka menjawab Al-Hasan: “kaum fuqoha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat denganmu.” Kemudian Al-Hasan menyambung: “wahai farqad adakah kamu melihat seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli itu adalah zuhud di dunia,gemar di akhirat.bermata hati kepada agama,kekal beribadah kepada Allah,wara’.mencegah dirinya dari membicarakan kekurangan orang lain,memelihara dirinya dari harta subhat dan selalu menasehati orang banyak.” 
                                                                                      ( 25 )                                                             

2.    Ilmu 

       Perkataan ini di pakai untuk pengetahuan mengenal zat,ayat-ayat dan perbuatan Allah terhadap hamba dan makhluknya.sehingga ketika Umar wafat maka berkata Ibnu Mas’ud: “sesungguhnya telah mati 9/10 ilmu.” Perkataan ilmu itu dijadikan isim ma’rifah dengan Alif dan Lam,menjadi Al-ilmu,lalu di beri penafsiran “mengetahui Allah.”  Kemudian di putarkan pula oleh mereka perkataan Al-ilmu itu pada maksud tertentu. Sehingga dalam banyak hal,di perkenalkannya “orang berilmu”  ialah orang yang asik berdebat melawan musuh dalam masalah-masalah fiqih dan lainnya.seorang tokoh ilmu pengetahuan orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan waktunya untuk itu di hitung orang lemah,tidak termasuk dalam bilangan ahli ilmu pengetahuan.ini juga suatu tindakan dengan suatu penentuan.mengenai kelebihan ilmu dan ulama’.sebetulnya sebagian besar di tujukan kepada ulama’ yang tahu akan Allah,hukum,perbuatan dan sifat Allah.tetapi sekarang di pakai kepada orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama  
                   
                                                                                      ( 26 )
Sealain dari pertemuan-pertemuan perdebatan dalam masalah-masalah khilafiah.dengan itulalu dia terhitung seorang ulama besar.serta kurangnya mengenai tafsir,hadits,ilmu madzhab dan lainnya.

3.   Tauhid
 
      Tauhid adalah suatu mutiara yang bernilai tinggi.mempunyai dua kulit,yang satu lebih jauh dari isinya dari pada yang lain.lalu orang mengkhususkan nama tauhid itu kepada kulit dan membuat penjagaan kepada kulit itu,serta menyia-nyiakan penjagaan isi secara mutlak.
      Kulit pertama: yaitu mengucapkan dengan lisan.
لاَإِلَهَ إِلاَّ الله
Ini dinamakan tauhid,tetapi ucapan tersebut mungkin datang dari seorang munafik yang berlawanan bathinnya dengan zhohirnya.
      Kulit kedua: yaitu tak ada di dalam hati perbedaan dan pertentangan,dengan pengertian ucapan tadi bahkan isi hati sesuai dengan ke imanan itu dan membenarkannya.itulah tauhid kebanyakan orang .dan para ahli ilmu kalam
                                                                                      ( 27 )
 sebagaimana di terangkan dahulu adalah penjaga dari kulit ini.
      Ketiga: yaitu isi ,melihat keadaan seluruh nya datang pada Allah dengan tidak  menoleh kepada perantaraan dan beribadah kepadanya.dengan ibadah yang semata-mata kepadanya tidak kepada yang lain. dan keluarlah dari tauhid ini yang menuruti hawa nafsu.tiap-tiap orang yang menuruti hawa nafsunya maka dia telah mengambil hawa nafsunya menjadi tuhannya.
      Firman Allah swt (s.Al-Jatsiyah 23):

أَفَرَ أَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ هَوَاهُ . الاية

      “Adakah engkau melihat orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi tuhannya?.”
       Nabi Muhammad saw bersabda:

أَبْغَضُ إِلَه عَبْد فِي اْلاَرْضِ عِنْدَ الله تَعَالَي هُوَ اْلهَوَي


                                                                                      ( 28 )
      “Tuhan dari seseorang di bumi yang sangat di marahi Allah ialah hawa nafsu.”
      Dan keluarlah dari tauhid yang tersebut di atas menaruh kemarahan kepada orang lain dan menoleh ke pada mereka.maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah swt.bagaimana akan marah kepada orang lain? dari itu tauhid adalah mempunyai pengertian dalam tingkat ini,yaitu tingkat orang-orang shiddiq (orang yang mempunyai kepercayaan penuh kepada Allah).
      Dari itu perhatikanlah kemana di putarkan arti tauhid dan kulit mana yang di pakai.maka bagaimana mereka mengambil itu menjadi pegangan untuk memuji dan merasa bangga.dengan apa yang namanya terpuji.tetapi telah di palsukan pengertian dari yang berhak pujian yang hakiki itu? Hal itu seumpamanya kepalsuan orang yang pagi-pagi sudah menghadap qiblat melakukan sholat shubuh dan membaca:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًَا


                                                                                      ( 29 )
      “Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi,karena aku memeluk agama yang benar.”
      Dan adalah dia menghadap Allah tiap-tiap hari dengan kebohongan.sekiranya wajah hatinya tidak benar menghadap Allah secara khusu’.
      Sesungguhnya,jika maksudnya dengan  “WAJAH” itu wajah secara zhohir maka adalah tujuan wajah nya ke KA”BAH dan tidak menuju kelain jurusan.
      Ka’bah tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi,sehingga mempunyai pengertian orang yang menghadap ke ka’bah berarti menghadap ke pada Allah,maha suci Allah dari berpihak dan berdaerah.adapun yang di maksud wajah itu adalah wajah hati.dan memang itulah yang di maksud pleh tiap-tiap orang yang beribadah.maka bagaimana dapat di benarkan ucapannya sedangkan hatinya bersimpang siur,memikirkan kepentingan dan dan keperluan duniawiyah nya dan mencari daya upaya mengumpulkan harta,kemegahan danmemperbanyak sebab-sebab dan perhatian seluruhnya untuk harta itu.jadi bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah.

                                                                                      ( 30 )
      Perkataan “MENGHADAPKAN WAJAH” itu menerangkan hakikat tauhid seorang yang bertauhid.yaitu tidak melihat melainkan yang ESA dan tidak menghadapkan wajahnya melainkan kepada yang ESA.
      Firman Allah swt (s. Al-An’am 92):
قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ
      “Katakanlah! Allah,kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya.”
      Tidaklah di maksud katakanlah  “itu, perkataan” dengan lisan, karena lisan itu merupakan penterjemah (pengalih bahasa dari dalam). Sekali dia benar sekali dia bohong.maka tempat untuk melihat Allah yang di terangkan oleh lisan itu ialah hati,hatilah tambang tauhid dan sumbernya.

4.   Zikir 

      Frman Allah swt (s.Adz-Dzariyat 55):

وَّذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَي تَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ


                                                                                      ( 31 )       
      “Berilah mereka peringatan (tazkir), karena peringatan itu berguna untuk orang-orang yang beriman.”
      Banyak Hadits Nabi Muhammad saw yang memuji majlis dzikir seperti sabdanya: “apakah kamu melewati kebun surga,maka bersenang-senanglah di dalamnya.” Adapun kebun surga itu adalah majlis dzikir.
      Dalam suatu hadits: “ Allah swt mempunyai banyak malaikat yang mengembara di dunia selain para malaikat yang ada hubungannya dengan makhluk. Apabila mereka melihat majlis dzikir,lalu mereka panggil satu sama lain.dengan mengatakan: pergilah kepada kesayanganmu masing-masinga! Lalu pergilah mereka mengelilingi dan mendengar.”
      Kebanyakan orang-orang pada masa sekarang mengambil yang demikian itu lalu membiasakan dengan cerita-cerita,sya’ir-sya’ir,do’a-do’a dan kata-kata yang tidak di pahami dan pemutaran perkataan-perkataan agama.
      Ahmad berkata: “yang paling banyak berdusta diantara manusia ialah tukang cerita dan peminta-minta.
      Maka inilah TAZKIR yang terpuji pada agama yang di gerakkan pelaksanaannya,oleh hadits yang di rowikan Abuzar
                                                                                      ( 32 )   
 seperti berikut: “mengunjungi majlis ilmu adalah lebih utama dari pada mengerjakan sholat 1000 roka’at,mengunjungi majlis ilmu adalah lebih utama dari pada mengunjungi 1000 orang sakit,mengunjungi majlis ilmu adalah lebih utama dari pada berta’ziah 1000 janazah.”
      “Atho’ berkata: “majlis zikir itu menutupkan 70 majlis yang sia-sia (tempat tontonan).”
      Imam Ahmad bin Hambal berkata: “alangkah perlunya manusia kepada tukang cerita yang benar.jika cerita itu termasuk cerita Nabi-nabi yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang cerita itu benar dan ceritanya tidak salah maka menurut saya (Imam Ahmad Bin Hambal) di perbolehkan.”
      Dari itu waspadalah dari majlis cerita bohong adapun cerita mengenai peristiwa-peristiwa yang menunjukkan banyak kesalahan dan keteledoran,maka itu menghambat orang awam dari mengetahui maksudnya.atau cerita itu meruoakan kesalahan yang di tambahkan kemudian orang awam berpegang kepadanya dengan keteledoran dan kesalahannya dan menganggap dirinya dapat di ma’afkan.dia beralasan bahwa hal itu berasal dari beberapa ulama    
                                                                                      ( 33 )
terkemuka dan terkenal.dia berkata bahwa sekiranya kita bersalah maka tak ragu lagi, telah bersalah lebih dahulu kepada Allah orang-orang yang lebih besar dari kita. Hal tersebut tadi menunjukkan keberaniannya menghasapi Allah swt. dengan tidak sadar.
      Apabila diri telah terpelihara dengan yang dua itu yakni dengan alasan telah di kerjakan oleh sebagian ulama dengan alasan bahwa kalau berdosa maka telah berdosa sebelumnya orang-orang  yang terkemuka,lalu dikatakanlah: cerita itu tidak mengapa.
      Dalm hal ini.yang di maksud cerita-cerita yang terpuji yang terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits.
      Adapun SYATHO (kata-kata yang tidak di pahami) tampaknya menarik dengan susunan yang mengagumkan,sedang di balik itu tak ada faedah nya sama sekali.
      Tidak dapat di pahami itu adakalanya oleh yang mengucapkannya sendiri.karena timbul gangguan pikiran dan kacau balau hayalan di sebabkan kurang mendalami maksud kata-kata yang menarik perhatian itu.inilah yang terbanyak.
      Dan adakalahnya dapat di pahaminya tetapi tidak sanggup
                                                                                      ( 34 )
Memahaminya sampai dapat melahirkan kata-kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan tidak mempelajari cara melahirkan suatu maksud dengan susunan kata yang menarik.
      Perkataan yang semacam ini pun tak ada faedahnya selain dari pada mengacau balaukan jiwa mengganggu fikiran dan membawa keraguan bagi hati.atau di pahaminya menurut maksud yang sebenarnya,tetapi pemahaman itu di dorong oleh hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri.
      Nabi Muhammad saw bersabda: “ tidaklah seseorang dari pada kamu menerangkan suatu hadits kepada segolongan manusia yang tiada memahaminya selain dari pada mendatangkan fitnah kepada mereka itu.”
      Nabi Muhammad saw bersabda: “berbicaralah dengan orang banyak dengan kata-kata yang dapat di pahaminya dan tinggalkanlah persoalan yang di tantang mereka,adakah kamu bermaksud mendustai Allah dan Rasulnya?.”
      Adapun THAM-MAT ( pemutaran perkataan-perkataan agama ) termasuk di dalamnya apa yang memuat mengenai SYATHOH. Dan suatu hal lain yang khusus dengan THAM-MAT itu .yaitu pemutaran perkataan-perkataan agama dari 
                                                                                      ( 35 )
  Zhohirnya yang mudah di pahami,kepada urusan bathin yang tidak ada padanya menonjol faedah seumpam kebiasaan golongan kebathinan memutar balikkan maksud.ini termasuk kesalahan besar, karena perkataan-perkataan itu apabila di putar dari tujuan zhohirnya tanpa berpegang teguh padanya. Menurut yang di nukilkan dari Nabi Muhammad saw. Dan tanpa suatu kepentingan yang di perlukan sepanjang petunjuk akal fikiran.maka yang demikian itu membawa hilang kepercayaan kepada perkataan itu sendiri.dan lenyaplah kegunaan kalam Allah swt dan kalam Rosul Nya.lalu apa yang segera terbawa kepada pemahaman tidaklah dapat di percayai lagi dan yang bathin itu tak ada ketentuan baginya.tetapi timbullah pertentangan dalam hati,dan memungkinkan penempatan perkataan itu kedaloam beberapa corak.
      Sesungguhnya tujuan dari orang-orang pembuat THAM-MAT itu ialah menciptakan yang ganjil, karena jiwa manusia adalah condong kepada yang ganjil.dan merasa enak memperoleh yang ganjil.
      Dengan cara tersebut,sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan semua syari’at dengan penta’wilan zhohiriah
                                                                                      ( 36 )
Dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu sendiri sebagaimana telah di ceritakan mengenai madzhab-madzhab kaum kebathinan itu dalam kitab  “Al-Mustadhari” yang di karang untuk menolak golongan tersebut.
      Contoh memutar balikkan ( penta’wilan ) golongan THAM-MAT itu antara lain kata mereka tentang penta’wilan Firman Allah swt ( s.Thoha 24 ):
إِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

      “pergilah kepada Fir’an itu sesungguhnya dia itu durhaka.”
      Bahwa itu adalah isyarat kepada hatinya dan mengatakan bahwa hatilah yang di maksud dengan fir’aun itu.dan hatilah yang durhaka kepada tiap-tiap manusia.
      Firman Allah swt (s.Al-Qoshosh 31 ):

وَ أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ . الاية

      “Dan campakkanlah tongkatmu.”         

                                                                                      ( 37 )
Lalu perkataan tongkat itu di putar kepad tiap-tiap sesuatu tempat bersandar,dan berpegang selain dari Allah.itulah yang harus di campakkan dan di buang jauh.
      Nabi Muhammad saw bersabda:
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِى السُّحُوْرِ بَرَكَة

      “Bersahurlah kamu! Karena pada sahur ada berkahnya.” Lalu diputarkan kepada meminta ampun kepada Allah pada waktu sahur,bukan lagi maksudnya makan sahir itu sendiri.karena Nabi sendiri makan sahur dan bersabda: “Bersahurlah! Marilah kita kepada makan yang mengandung berkah ini.”
      Nabi Muhammad saw bersabda: “Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an menurut pandapatnya sendiri maka di sediakan untuknya suatu tempat dari api neraka,” pengertian selain dari cara inilah,yaitu maksud dan pendapatnya adalah menetapkan dan membuktikan sesuatu.lalu menarik penyaksian Al-Qur’an kepadanya serta membawa kitab suci di luar petunjuk kata-kata,baik menurut bahasanya atau menurut yang di nukilkan ( naqliah ).
                                                                                      ( 38 )
      Barang siapa membolehkan dari golongan THAM-MAT, menggunakan memutar balikkan seperti itu serta di ketahuinya bahwa yang demikian tidaklah yang di maksud dengan perkataan-perkataan itu dan mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia kepada Allah,maka sikap yang demikian itu samalah dengan orang yang membolehkan membuat-buat dan mengada-adakan sesuatu terhadap Nabi Muhammad saw, karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak dio ucapkan oleh agama.seperti orang yang mengada-adakan hadits Nabi Muhammad saw dalam suatu persoalan yang di pandang benar.
      Nabi Muhammad saw bersabda: “ Barang siapa berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari api neraka.”
      
5.   Hikmah

      Ialah suatu hal yang di puji Allah swt dengan firmannya (s.Al-Baqoroh 269):
يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَأُ وَمَنْ يُّوْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْراًَ كَثِيْراًَ . الاية
                                                                                      ( 39 )
      “Dianugrahinya hikma kepada siapa yang di kehendakinya dan barang siapa di anugrahi hikmah maka dia telah di anugrahi banyak kebijakan.’
      Nabi Muhammad saw bersabda: “satu kalimat dari hikmah yang di pelajari oleh seorang adalah lebih baik baginya dari pada dunia serta isinya.”
      Nabi Muhammad saw bersabda; “ mulanya islam itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah kepada orang-orang asing itu.” Maka shahabat bertanya kepada Nabi,siapakah orang asing itu?. Nabi menjawab: “mereka yang merperbaiki apa yang telah di rusakkan manusia dari sunahku dan mereka yang menghidupkan apa yang telah di matikan manusia dari sunahku.”
      Nabi Muhammad saw bersabda: “ orang-orang asing itu adalah manusia yang sedikit jumlahnya dan orang-orang baik diantara manusia banyak,yang memarahinya lebih banyak dari pada yang mencintainya.”



                                                                                      ( 40 )  

    Bab
      3
 
                                                                                      
    
                                 BATAS TERPUJI DARI ILMU
                     YANG  TERPUJI  DAN  BAHAYA                                          
                         BERDEBAT 
                             
                          
      Sesungguhnya pada tiap-tiap ilmu pengetahuan itu ada yang singkat yaitu yang sekurang-kurangnya. ada yang sedang yaitu di tengah-tengah.dan ada yang lebih jauh lagi dari yang sedang itu.itu tidak terselesaikan sampai akhir hayat.
      Maka hendaklah anda menjadi salah seorang dari dua,adakalahnya berusaha untuk diri sendiri dan adakalahnya untuk orang lain sesudah menyelesaikan yang untuk diri sendiri itu.janganlah berusaha untuk orang lain sebelum siap yang untuk diri sendiri.
      Bila anda telah selesai dari urusan diri sendiri dan diri anda itu telah bersih dan sanggup meninggalkan dosa zhohir dan dosa bathin dan yang demikian itu telah menjadi darah 

                                                                                      ( 41 )
daging dan kebiasaan yang mudah di kerjakan dan tidak akan ditinggalkan lagi.maka barulah anda bekerja dalam lapangan fardlu kifayah dan peliharalah secara berangsur-angsur mulai dengan kitabullah kemudian sunah Nabi kemudian dengan ilmu tafsir dan lain-lain ilmu Al-Qur’an.yaitu ilmu nasikh dan mansukhnya.mafshul,maushul,muhkam dan mutasyabih. Demikian juga dengan sunah.
      Kemudian berusahalah dengan ilmu furu’,yaitu ilmu mengenai madzhab dari ilmu fiqih tanpa membicarakan masalah khilafiah.kemudian berpinda kepada ushul fiqih.demikianlah terus sampai kepada ilmu-ilmu yang lain.selama nyawa masih di kandung badan dan selama waktu mengizinkan.
      Janganlah anda menghabiskan umur pada suatu pengetahuan saja dari pengetahuan-pengetahuan itu karena hendak mendalami benar-benar.sebab ilmu itu banyak dan umur itu pendek.dan ilmu pengetahuan itu adalah alat dan pengantar.dia tidaklah menjadi tujuan yang sebenarnya,tetapi sebagai alat untuk menuju kepada yang lain.
      Mengenai ilmu bahasa umpamanya singkatkanlah sekedar dapat memahami dan berbicara dengan bahasa arab itu. Dan
                                                                                      ( 42 )
 di pelajari yang luar biasa dari ilmu bahasa itu untuk dapat di pahami yang luar biasa pula dari susunan Al-Qur’an dan hadits. Tinggalkanlah memperdalaminya dan singkatkanlah dari ilmu tata bahasa ( ilmu nahwu ) itu sekedar yang berhubungan dengan kitab suci dan sunnah Nabi.
      Sebab-sebab dari madzhab adalah tersebut dalam madzhab itu sendiri.dan penambahan dari pada nya adalah merupakan perdebatan yang tidak di kenal oleh orang-orang terdahulu dan oleh para shahabat merekalah sebetulnya yang lebih mengetahui dengan sebab-sebab fatwa dari orang-orang lain.bahkan perdebatan (mujadalah) itu di sampimping tak ada faedahnya dalam ilmu madzhab adalah mendatangkan kemelaratan yang merusak rasa indah nya fiqih.
      Orang yang menyaksikan mengira bahwa dia adalah seorang ahli fatwa (mufti) dalam memberikan fatwanya.apabila benar rasa indah perasaannya kepada fiqih.
      Orang yang sifatnya sudah membiasakan perdebatan maka hati nuraninya menyakini kepada tujuan perdebatan itu dan tidak berani lagi melahirkan perasaan indah ilmu fiqih.
      Orang yang berbuat serupa itu adalah mencari kemasyhuran dan kemegahan dengan topeng ingin   
                                                                                      ( 43 )
 mempelajari sebab-sebab dari madzhab,kadang-kadang umurnya habis di situ saja dan tak mau pindah cita-citanya kepada ilmu pengetahuan madzhab.
      Firman Allah swt (s. Az-Zukhruf 58)
مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاًَ بَلْ هُمْ قَوْم خَصِمُوْنَ

      “Mereka menimbulkan soal itu hanyalah untuk membantah saja.sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.”
      Pada suatu Hadits : “ Manusia yang amat di murkai Allah ialah yang suka bertengkar.” Dan Hadits lain : “ Tidak di berikan kepada suatu kaum akan bijak berkata-kata kecuali mereka itu meninggalkan bekerja.”
      Amat besar perhatian masyarakat kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat di perlukan,baik di daerah-daerah atau di pusat pemerintahan.
      Sesudah itu lahirlah dari orang-orang terkemuka dan pembesar-pembesar golongan yang suka memperhatikan percakapan manusia tentang kaidah-kaidah kepercayaan dan tertarik hatinya mendengar dalil-dalil yang
                                                                                      ( 44 )
dikemukakan.maka timbullah kegemaran bertukar fikiran dan berdebat dalam ilmu fiqih. Perhatian orang banyakpun tertumpah kepada ilmu itu.lalu di perbanyak karangan dan di susun cara berdebat.dan di keluarkanlah ulasan mana kata-kaya yang bertentangan.
       Mereka mendakwahkan bahwa tujuannya ialah merpertahankan agama Allah.dan sunnah Nabi serta membasmi bid’ah sebagai mana orang-orang sebelum mereka ini.mendakwahkan untuk agama dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan mengurus perihal hukum karena belas kasihan kepada manusia dan untuk pengajaran kepada mereka.
      Maka manusiapun sedikit-demi sedikit mulai meninggalkan ilmu TAUHID dan mereka terjun kedalam masalah-masalah khilafiah,mereka mendakwahkan bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam.menetapkan sebab-musabab madzhab dan memberikan pengantar bagi pokok-pokok fatwa.lalu memperbanyak karangan dan pemahaman hukum,di susun bermacam-macam cara berdebat dan mengarang.keadaan itu di teruskan mereka sampai sekarang ini.          
                                                                                      ( 45 )                                                                                                                                          
      Adapun maksud perdebatan yang benar itu adalah mencari kebenaran supaya kebenaran itu nyata karena kebenaranlah yang di cari.bertolong-tolongan membahas ilmu dan melahirkan isi hati itu ada faedah dan gunanya dalam bermusyawarah yang diadakan mereka seperti musyawarah mengenai masalah nenek laki-laki,saudara laki-laki dalam soal waris.hukum minuman khomar,masalah pusaka dan lainnya.
      Benar bahwa bertolong-tolong mencari kebenaran itu sebagian dari agama,tetapi mempunyai syarat-syarat yaitu :

SYARAT PERTAMA             

      Bahwa tidak bekerja mencari kebenaran yang termasuk dalam fardlu kifayah sedangkan orang-oarang belum lagi menyelesaikan fardlu ‘ain, lalu mengerjakan fardlu kifayah dengan dakwaan bahwa maksud nya benar, itu adalah pendusta.
      Yang jelas,orang-orang yang asyik bertengkar itu menyia-nyiakan urusan yang telah di sepakati atas fardlu ‘ain nya. Orang yang di hadapkan kepadanya untuk mengembalikan

                                                                                      ( 46 )
 barang simpanan sekarang juga,lalu dia berdiri tegak bertakbir melakukan sholat suatu ibadah yang mendekatkan manusia kepada Allah,adalah dosa.
      Jadi tidak cukup untuk menjadi seorang yang ta’at,sebab perbuatannya termasuk perbuatan ta’at sebelum di sempurnakan waktu, syarat dan tata tertib pada mengerjakannya.

SYARAT KEDUA

      Bahwa tidak melihat fardlu kifayah itu lebih penting dari perdebatan,jika ia melihat ada sesuatu yang lebih penting lalu mengerjakan yang lain maka berdosalah ia atas sikapnya itu. Contoh : seumpama orang yang melihat rombongan orang kehausan yang hampir binasa dan tak ada yang menolongnya,orang tadi sanggup menolong dengan memberikan air minum, tetapi dia pergi mempelajari berbekam dengan mendakwakan bahwa pelajaran berbekam itu termasuk fardlu kifayah dan kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan binasalah manusia dan kalau di katakana kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli  
                                                                                      ( 47 )  
Bekam dan lebih dari cukup,lalu di jawabnya bahwa ia tidak dapat merobah pekerjaan berbekam menjadi tidak fardlu kifayah lagi. Maka peristiwa orang yang pergi mempelajari berbekam dan menyia-nyiakan nasib orang yang menghadapi bahaya kehausan itu. Dari orang muslimin samalah halnya dengan peristiwa orang yang asyik mengadakan perdebatan sedang dalam negeri terdapat banyak fardlu kifayah yang di sia-siakan tak ada yang mengerjakannya.

SYARAT KE TIGA        

      Adapun orang yang tidak dalam tingkat ijtihad dan memang begitulah keadaan orang sekarang, maka berfatwalah dia dalam persoalan yang dinyatakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh di tinggalkannya.
      Dari itu,apakah faedahnya ia mengadakan perdrbatan sedang madzhab sudah di kenal dan dia tak boleh berfatwa dengan yang lain.
      Kalau ada yang sulit dia harus mengatakan : semoga ada jawaban tentang ini pada yang punya madzhabku, karena aku
                                                                                      ( 48 )

 tidak berdiri dengan ber-ijtihad pada pokok-pokok agama.
      Kalau ada pembahasan mengenai persoalan yang mempunyai dua pendapat dari yang punya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini dapat meragukan baginya,mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu karena sepanjang penyelidikan nya ia condong kepada yang satu itu, maka tak adalah sekali-kali jalan untuk berdebat dalam hal tersebut.

SYARA KE EMPAT

      Tidak di perdebatkan selain dalam persoalan yang terjadi atau biasanya akan terjadi dalam waktu dekat karena para shahabat tidak mengadakan musyawarah selain dalam persoalan yang selalu terjadi atau biasanya terjadi seumpama persoalan warisan (faraidl).

SYARAT KE LIMA

      Bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada di hadapan orang ramai dan di muka para pembesar dan penguasa.pada tempat yang sepi pemikiran itu
                                                                                      ( 49 )
Dapat di pusatkan dan lebih layak untuk memperoleh kejernihan hati,pikiran dan kebenaran.
      Kalau di muka umum dapat mengerakkan ria,mendorong masing-masing pihak untuk menjadi pemenang, benar atau salah.
      Anda tahu bahwa orang suka ketempat umum dan di hadapan orang banyak tidaklah karena Allah,kalau di tempat yang sepi masing-masing mau memberikan kesempatan waktu kepada kawannya untuk berfikir,kadang-kadang di ajukan saran dan di biarkan tidak menjawab dengan tepat.
      Tetapi bila di muka umum atau di hadapan pertemuan besar,masing-masing pihak tidak mau meninggalkan kesempatan,sehingga maunya dia saja yang berbicara.

SYARAT KE ENAM

      Bahwa dalam mencari kebenaran itu tak ubahnya seperti orang mencari barang hilang. Tidak ada perbedaan baik barang tersebut di temukan oleh dirinya sendiri atau orang lain yang menolongnya.
      Dia memandang temannya berdebat itu penolong, bukan
                                                                                      ( 50 )  

Musuh,ucapkanlah terima kasih. Waktu di beri tahu kesalahan nya.umpama kalau dia mengambil jalan mencari barang yang hilang itu berada pada jalan yang lain. tentu akan di ucapkan nya terima kasih,bukan dimakinya.tentu akan di mulyakannya dan di sambut nya dengan gembira.
      Demikianlah adanya musyawarah para shahabat Nabi itu.seorang wanita pernah membantah keterangan shahabat Umar,dan menerangkan kepadanya yang benar,di waktu umar sedang berpidato di hadapan rakyat,maka shahabat menjawab: “ benar wanita itu dan salah laki-laki ini.”
      Seorang laki-laki bertanya kepada shahabat Ali,lalu shahabat Ali memberi jawaban atas pertanyaan itu.lalu laki-laki tadi berkomentar: bukan begitu wahai Amirul mu’minin, tetapi begini dan begitu,maka shahabat Ali menjawab: “Anda benar dan aku salah.diatas tiap-tiap yang berilmu ada lagi yang lebih berilmu.”
      Lihatlah tukang-tukang berdebat masa sekarang ini,apabila kebenaran itu dating dari mulut lawatnya maka merahlah mukanya,dia merasa malu dan berusaha sekuat tenaganya menentang kebenaran tadi dan di cacinya orang yang telah mematahkan keterangan nya itu.
                                                                                      ( 51 )
SYARAT KE TUJUH

      Jangan di larang teman yang berdebat berpindah dari satu dalil kelain dalil dan dari satu persoalan kelain persoalan,demikianlah adanya perdebatan ‘ulama salaf pada masa yang lampau.
      Dan janganlah dari mulut orang yang berdebat itu meluncur bentuk pertengkaran yang tidak baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain seumpama katanya: “ini tidak perlu saya sebutkan. Itu bertentangan dengan keterangan saudara yang pertama, dari itu tidak diterima.”
      Sebenarnya kembali kepada kebenaran adalah merombak yang batil dan wajib diterima.dan janganlah majlis perdebatan menghabiskan waktunya menolak dan bertengkar sampai sampai memberi keterangan dengan alasan-alasan sangkaan.
      Untuk menolak alasan tadi,lalu yang sepihak lagi bertanya : “apakah keterangannya maka untuk menetapkan hukum masalah itu,di dasari kepada alasan tadi ?”
      Pihak pertama menolak dengan mengatakan : “itulah yang ada padaku,kalau ada pada saudara yang lebih terang dan kuat dari itu coba terangkan supaya saya dengar dan saya perhatikan!”
                                                                                      ( 52 )
      Maka terus-meneruslah orang itu bertengkar dan menyebut kata-kata yang lain lagi.seumpama : “saya tahu tetapi tidak mau saya sebutkan,sebab tidak perlu saya menyebutkannya!.
      Bertele-tele dengan soal dan jawab,pihak yang mengatakan bahwa dia tahu,tetapi tidak bersedia menerangkannya.alasan tidak perlu,adalah bohong,membohongi agama.karena bila sebenarnya ia tidak tahu.tetapi mengatakan tahu supaya lawannya lemah,maka dia adalah seorang pendusta dengan mengatakan tahu,padahal tidak.
      Kalau benar ia tahu,maka dia menjadi seorang fasiq karena menyembunyikan apa yang di ketahuinya dari ilmu agama.
      Perhatikanlah musyawarah para shahabat dan soal jawab para ‘ulama salaf! Adakah anda mendengar semacam itu ? adakah di larang orang berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain.dari qias perkataan shahabat dan dari Hadits ke Ayat ? tidak,bahkan seluruh perdebatan mereka termasuk kedalam golongan tadi,karena mereka menyebutkan apa yang tergoris di hati dengan tidak sembunyi-sembunyi dan masing-masing
                                                                                      ( 53 )
Mendengarkannya dengan penuh perhatian.

SYARAT KE DELAPAN 

      Bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang di harapkan ada faedahnya bagi orang itu seperti orang yang sedang menuntut ilmu.
      Biasanya sekarang ini, mereka menjaga jangan sampai berdebat dengan tokoh-tokoh agama yang terkemuka dalam lapangan ilmu pengetahuan karena takut nanti dating kebenaran dari mulut tokoh agama itu. dari itu mereka memilih orang yang lebih rendah ilmunya karena mengharap tidak ada yang menandinginya.
      Ketahuilah dan yakinlah bahwa perdebatan yang di adakan dengan tujuan mencari kemenangan,menundukkan lawan,melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri,membesarkan mulut di depan orang banyak,ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik perhatian orang,adalah sumber segala budi yang tercelah pada Allah.
      Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki,karena dia sekali menang,sekali kalah,sekali ucapannya di puji orang

                                                                                      ( 54 )
Sekali ucapanya tidak di puji orang.
      Dengki adalah api yang membakar,orang yang menderita penyakit dengki di dunia memperoleh adzab dan di akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi.
      Ibnu Abbas berkata : “ Ambillah ilmu pengetahuan di mana saja kamu berada,dan janganlah kamu terima (ambil) perkataan Fuqoha’ apabila diantara sesame mereka itu berselisih satu sama lainnya.”
      Si pendebat itu senantiasa mencari kekurangan lawannya,sehingga bila datang seorang pendebat lain ketempatnya lalu di carinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup pendebat yang datang itu
      Diantara sifat-sifat yang jahat itu yaitu perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan lawan.
      Dari itu saya tidak mengerti,bagaimana mendakwahkan diri mengikuti madzhab imam Syafi’I oleh segolongan manusia di mana ilmu pengetahuan itu di antara mereka telah menjadi alat permusuhan yang memutuskan silaturrahmi.
      Nabi Muhammad saw bersabda : “ Apabila manusia mempelajari ilmu dan dan meninggalkan amal,berkasih  
                                                                                      ( 55 )
 kasihan dengan lisan dan bermarah-marahan dengan hati serta terputus silaturrahmi maka dapat kutukan Allah ketika itu.di tulikan telinganya dan di butakan matanya.
      Yang di maksud dengan “ulama dunia ‘ulama yang tujuannya dengan ilmu pengetahuan itu ia memperoleh kesenangan dunia,kemegahan dan kedudukan.
      Nabi Muhammad saw bersabda : “manusia yang sangat memperoleh adzab pada hari kiamat ialah orang yang berilmu tiada bermanfa’at ilmunya.”
      Nabi Muhammad saw bersabda : “Tidaklah seorang itu bernama ‘alim sebelum berbuat menurut ilmunya.”
      Khalil bin Ahmad berkata : “orang itu ada empat macam : pertama, orang ‘alim dan memang dia orang ‘alim,maka ikutilah dia. Kedua,orang yang ‘alim tetapi dia tidak mengetahui bahwa dirinya ‘alim dia ibarat orang yang sedang tidur maka bangunkanlah dia. Ketiga, orang yang tidak ‘alimdan memang merasa dirinya tidak ‘alim dia adalah orang yang ingin tahu maka tunjukilah dia. Keempat, orang yang tidak ‘alim tetapi merasa dirinya ‘alim dia adalah orang yang bodoh,maka jauhilah dia.

                                                                                      ( 56 )
      Al-Hasan berkata : “ siksaan bagi ‘ulama ialah mati hatinya,kematian hati ialah mencari dunia dengan amalan akhirat.” 
      Usman bin Zaid berkata : “ aku mendengar Rasulullah saw bersabda : “ pada hari kiamat orang yang berilmu di lemparkan kedalam neraka,maka keluarlah perutnya dia mengelilingi perutnya itu seperti keledai mengelilingi gandum,penduduk neraka mengelilinginya seraya bertanya,mengapa engkau begini?”   
Orang yang berilmu itu menjawab : “ aku menyuruh dengan kebaikan dan aku sendiri tidak mengerjakannya,aku melarang dari kejahatan dan aku sendiri mengerjakannya.”
      Dilipat gandakan adzab kepada orang yang berilmu karena ma’siatnya,karena ia mengerjakan ma’siat itu dengan ilmu.
      Firman Allah swt (s.An-Nisa’ 145)

إِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ اْلاَسْفَلِ مِنَ النَّارِ . الاية

      “Bahwa orang munafiq itu dalam tingkat yang paling bawah dari api neraka.” 
                                                                                      ( 57 )
      Nabi Muhammad saw bersabda : “ diantara bencana dari seorang yang berilmu ialah lebih suka berbicara dari pada mendengar.”
      Sebab dalam berbicara itu banyak bumbu dan tambahan danbelum ada jaminan terpelihara dari kesalahan.dalam berdiam diri timbul keselamatan dan tanda berilmu pengetahuan.

      Macam-macam orang yang berilmu
      1.Diantara orang yang berilmu ada yang menyimpan ilmunya,tidak suka ada pada orang lain,orang yang semacam ini dalam lapisan pertama dari api neraka.
      2. Diantara orang yang berilmu ada yang bersikaf sebagai raja dengan ilmunya,jika ada pengetahuannya yang di tolak orang atau di pandang orang lemah dan kurang benar maka marahlah dia.orang yang semacam ini dalam lapisan kedua dari api neraka.
      3. Diantara orang yang berilmu,ada yang menyediakan ilmunya dan pembahasan ilmiahnya yang mendalam untuk orang yang te3rkemuka dan yang kaya saja dan tidak mau melihat kepada orang yang memerlukan kepada ilmu
                                                                                      ( 58 )
 pengetahuan,orang yang semacam ini dalam lapisan ketiga dari api neraka.
      4..Diantara orang yang berilmu,ada yang mengangkat dirinya untuk memberi fatwa,lalu ia berfatwa salah,Allah swt memerahi orang-orang yang beratkan dirinya dengan beban yang tidak di sangupinya.orang semacam ini dalam lapisan keempat dari api neraka.
      5. Diantara orang yang berilmu,ada yang berbicara besar mulut untuk memperlihatkan ketinggian ilmu pengetahuannya.orang yang semacam ini dalam lapisan kelima dari api neraka.
      6. Diantara orang yang berilmu,ada yang membuat ilmunya untuk kehormatan diri (kemuliaan) dan keharuman nama di tengah-tengah masyarakat. Orang semacam ini dalam lapisan keenam dari api neraka.
      7. Diantara orang yang berilmu, ada yang menarik kebanggaan dan takabur dengan ilmunya,bila ia memberi nasehat menghardik dan bila di nasehati keras kepala,orang semacam ini dalam lapisan ketujuh dari  api neraka.


                                                                                      ( 59 )
      Wahai manusia,hendaklah kamu berdiam diri,dengan berdiam diri setan kalah. Waspadalah dari tertawa tanpa ada yang menakjubkan dan dari berjalan tanpa ada maksud.











      

                                                                                






                                                                                      ( 60 )

   Bab
     4
 


TENTANG AKAL
DAN KEMULIAAN AKAL


      Akal adalah sumber ilmu, tempat terbit dan sendi dari ilmu.ilmu itu berlalu dari akal.
      Bagaimana akl itu tidak mulia,sedang dia adalah jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Atau bagaimanakah boleh di ragukan tentang kemuliaan akal itu. sedang hewan merasa takut terhadap akal. Sehingga seekor hewan yang bertubuh besar berkeberanian luar biasa dan bertenaga kuat,apabila melihat wajah manusia lalu merasa takut karena di rasakannya manusia itu akan menaklukkannya.
      Allah Ta’ala menamakan akal itu dengan “ NUR “ firmannya ( s.An-Nur 35 ) :

أللهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَ الاَرْضِ مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِثْكٰوةٍِ فِيْهَا مِصْبَاح . الاية

                                                                                      ( 61 )                                                                                     
      “Allah pemberi nur bagi langit dan bumi,bandingan nur nya adalah seperti satu kurungan pelita yang di dalamnya ada pelita……”          
      Nabi Muhammad saw bersabda : “yang mulia pertama di jadikan Allah ialah akal,maka Allah berfirman kepada akal : “ menghadaplah! Lalu menghadaplah akal,kemudian Allah berfirman : “ membelakanglah! Lalu membelakanglah akal. Kemudian Allah berfirman : “ demi kemuliaanku dan demi kebesaranku tidak aku jadikan suatu makhlukpun yang lebih mulia pada sisiku selain engkau,dengan engkau aku mengambil,dengan engkau aku memberi,dengan engkau aku pahala,dan dengan engkau aku memberi siksa.
      Dari Umar ra. Bahwa Umar bertanya kepada Tamim Ad-Dari : “ Apakah yang mulia padamu.” Tamim menjawab : “akal.” Maka menyambung Umar : “benar engkau! Aku telah bertanya kepada Rasulullah saw,seperti yang aku tanyakan kepadamu tadi.maka Nabi menjawab seperti yang kamu jawab. Nabi pernah bertanya kepada malaikat Jibril : “apakah yang mulia?” Jibril menjawab : “akal.”   
      Dari Ibnu Abbas r.a,bahwa Ibnu Abbas berkata : “telah bersabda Rasulullah saw,tiap-tiap sesuatu itu mempunyai alat                                                                                     ( 62 )                      
Dan perkakas,alat bagi orang mu’min adalah akal,tiap-tiap sesuatu itu mempunyai kendaraan dan kendaraan manusia ialah akal,tiap-tiap sesuatu mempunyai tiang dan tiang agama adalah akal.”.
      Dari Sa’id bin Al-Musayyab,bahwa Umar,Ubaid bin Ka’ab dan Abu Huraira r.a. datang kepada Rasulullah saw seraya bertanya : “ya Rasulullah! Siapakah yang terbanyak ilmu diantara manusia?”. Rasululolah menjawab : “orang yang berakal.” Mereka bertanya lagi: “siapakah yang lebih utama diantara manusia?”. Rasulullah saw menjawab: “orang yang berakal.”
      Wallahu a’lam-Allah lah yang maha tahu.









                                                                                      ( 63 )  

    Bab
      5                     
 


QAIDAH-QAIDAH
I’TIQAD


      Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.segala puji bagi Allah yang menganugerahkan perbedaan bagi pencinta-pencinta sunnah dengan nur keyakinan,dan melebihkan kepada pendukung-pendukung kebenaran akan petunjuk kepada tiang-tiang agama serta menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang yang tidak bertuhan.memberi taufiq kepada mereka untuk mengikuti jejak para Rasul (Nabi Muhammad ) dan memudahkan bagi mereka mengikuti peninggalan ‘ulama-‘ulama terdahulu,sehingga mereka berpegang teguh menurut yang di kehendaki akal fikiran dengan tali yang kokoh kuat,dari perjalanan dan ‘aqidah ‘ulama yang mula-mula dengan cara nyata.
      Maka di kumpulkan mereka dengan penerimaan di antara natijah-natijah akal fikiran dan kehendak-kehendak syari’at  
                            
                                                                                      (64 )
yang di naqalkan (di ambil dari pokok agama ),dan yakinlah mereka bawa mengucapkan saja apa yang menjadi ibadah dari kata-kata :
لاَإِلَهَ إِلاَّ الله مُحَمَّد رَسُوْلُ الله

tidaklah  berfaedah dan berhasil jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa yang di bawa oleh kalimah syahadad itu dari isi dan pokoknya.
      Mereka mengetahui bahwa dua kalimah syahadad di dalam kesingkatannya itu mengandung keyakinan wujud zat Allah,sifat-sifat Allah dan af’al Nya dan mengandung keyakinan kebenaran Rasul.
      Mereka mengetahui bahwa pembangunan ke imanan itu adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun)ini,yang ada empat :
  1. Rukun pertama : mengenai ma’rifat (mengenal) zat Allah.
  2. Rukun ke dua : mengenai sifat-sifatNya.
  3. Rukun ke tiga : mengenai af’al Allah.
  4. Rukun ke empat : mengenai sam’iyyat (hal-hal yang di dengar dari agama)

                                                                                      ( 65 )
       RUKUN PERTAMA   : Dari rukun-rukun iman ialah
                                                Mengenal (ma’rifat) zat Allah,   
                                                Bahwa Allah Ta’ala itu Esa.
                                      ______________________________
      PERTAMA : mengenal adanya Allah,Nur yang pertam-tama yang menyinari kepada pengenalan ini dan terus berjalan dengan jalan pandangan dan perhatian,ialah apa yang telah di tunjuki oleh Al-Qur’an,maka tak ada penjelasan yang lebih jelas dari pada penjelasan Allah.
      Firman Allah swt. (s.An-Naba’ 6-16) :

أَلَمْ نَجْعَلْ اْلاَرْضَ مِهَاداًَ . وَاْلجِبَالَ أَوْتَاداًَ . وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجاًَ . وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتاًَ . وَجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاساًَ . وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشاًَ . وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعاًَ شِدَادَا . وَجَعَلْنَا سِرَاجَاًَ وَهَّاجاًَ . وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَأًَ ثَجَّاجاَ . لِنُخْرِجَ بِهِ حَبّاًَ وَنَبَاتاًَ . وَجَنَّاتٍِ أَلْفَافاًَ


                                                                                      ( 66 )                                                                                                                                                                       
    “ Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (terbentang luas).dan gunung-gunung sebagai pasak,dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan.dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat.dan kami jadikan malam sebagai pakaian (tutup).dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.dan kami bangun diatas kamu tujuh lapis langit yang kokoh.dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari).dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.supaya kami tumbuhkan d3engan air itu biji-biji dan tumbuh-tumbuhan,dan kebun-kebun yang lebat.’
      Maka tidaklah tersembunyi lagi kepada orang yang ada padanya sedikit sentuhan akal,apabila memperhatikan dengan fikiran yang sederhana saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi dan menolehkan arah pandangannya kepada segala keajaiban makhluk Alah di bumi dan di langit,kecantikan kejadian hewan dan tumbuhan-tumbuhan bahwa keadaan yang amat menakjubkan itu serta susunan yang kokoh kuat maka tidaklah terlepas dia dari pada pencipta yang mengatur,dari pembuat yang mengokohkan dan yang mentakdirkan,bahkan hampirlah kiranya fitrah (kejadian dari

                                                                                      ( 67)
Yang suci bersih) dari jiwa sendiri mengakui bahwa semuanya itu dalam keadaan ADA yang menentukan di bawah pengaruhNya dan yang menentukan arah dengan kehendak pimpinan Nya.
      Firman Allah sw (s. Ibrahim 10) :

أَفِى اللهِ شَكّ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ . الاية

      “Apakah kamu ragu tentang tuhan,pencipta langit dan bumi?.”
      Maka karena itulah di utus Nabi-Nabi,untuk memanggil umat kepada tauhid supaya mengucapkan :
لاَإِلَهَ إِلاَّ الله

      “Tiada yang di sembah selain Allah.”
Dan tidak di suruh mengucapkan : “kami mempunyai tuhan dan alampun mempunyai tuhan.” cara yang demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam fitrah kejadian akal manusia,dari permulaan pertumbuhannya dan masa perkembangan kemudiannya.
                                                                                      ( 68 )
      KEDUA
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu Qodim (dahulu),senantiasa azali (tidak ada bagi wujudnya permulaan) tetapi Dia permulaan tiap-tiap sesuatu dan sebelum ada sesuatu yang mati dan yang hidup.
      Dalilnya : jikalau Allah itu baharu,tidak qodim,maka Dia memerlukan pula kepada muhdits (yang membaharukan).yang muhdits itu memerlukan kepada muhdits lagi,lalu tali-bertalilah,demikian sampai kepada yang tak berpenghabisan.dan yang tali-bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits yang qodim,yaitu yang pertama,dan inilah sebenarnya yang dicari,yang kita namakan :pencipta alam,pembuat,penjadi.

      KETIGA
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala serta adaNya azali abadi,tidak ada bagi wujudnya berakhir (berkesudahan).Dialah yang awal yang akhir,karena mana kala telah benar qidamnya,maka mustahillah tiada Nya.
      Dalinya : jikalauAllah Ta’ala itu menghadapi ketiadaan,maka adalah Dia tidak terlepas,adakala ketidaan
                                                                                      ( 69 )
Nya itu,dengan sendiriNya atau dengan sesuatu yang meniadakan Nya yang berlawanan dengan Dia.

      KEEMPAT
Mengetahui bahwa tiadalah Allah Ta’ala itu  Jauhar (suatu zat yang berbentuk) yang mengambil tempat di suatu pihak,tetapi maha suci dan maha Quduslah Dia dari pada bertempat itu.
      Dalilnya : bahwa tiap-tiap Jauhar itu mengambil pihak maka tertentulah Dia dengan pihak (arah) itu.dan tidak terlepas dari adanya pada pihak itu,di mana Dia tetap atau bergerak di dalamnya.maka tidak terlepaslah dia dari sifat gerak dan diam yang mana keduanya adalah baharu,sesuatu yang tidak terlepas dari yang baharu adalah baharu.

      KELIMA
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidaklah bertubuh (berjisim)yang tersusun dari pada beberapa Jauhar,karena Jisim adalah ibarat dari susunan dari pada beberapa Jauhar,karena jisim adalah ibarat dari susunan beberapa Jauhar.

                                                                                      ( 70 )
      Apabila sudah tak benar adanya itu Jauhar yang khusus dengan sesuatu tempat maka tak benar pulalah adanya itu Jisim.sebab tiap-tiap jisim tertentu dengan tempat dan tersusun dari Jauhar dan Jauhar adalah muustahil terlepasnya dari bercerai dan berkumpul,bergerak dan diam,berkeadaan dan berbatas.
      Semua itu adalah tanda-tanda dari yang baharu,kalau bolehlah di I’tiqadkan bahwa pencipta alam itu Jisim maka boleh pulalah di I’tiqadkan ketuhanan matahari,bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang berjisim.kalau ada orang yang berani menamakan Allah Ta’ala itu Jisim,tanpa ada maksud tersusun dari Jauhar-jauhar maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam meniadakan pengertian Jisim.

      KEENAM
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidaklah ‘Aradl (sifat) yang berdiri pada Jisim atau bertempat pada se suatu tempat,karena ‘Ardl tidaklah bertempat pada Jisim,tiap tiap Jisimtidak mustahil- adalah baharu,di mana muhditsnya (yang menjadikannya) telah ada sebelumnya.maka bagaimana
                                                                                      ( 71 )
adaNya bertempat pada Jisim.sedang Dia sudah maujud pada azali sendiri Nya.tak ada serta Nya yang lain,kemudian Dialah yang menjadikan segala Jisim dan ‘Aradl, dank arena Dialah yang tahu,yang kuasa,yang berkehendak dan yang menjadikan.
      Sifat-sifat tersebut (sifat-sifat tahu,kuasa,berkehendak dan menjadikan) ada mustahil pada ‘Aradl,bahkan tak di terima oleh akal,kecuali pada yang maujud yang berdiri dengan sendirinya,yang bebas dengan zatnya.
      Dari pokok-pokok yang tersebut di atas,mungkin telah berhasil pemahaman bahwa Allah itu maujud berdiri dengan sendirinya,tidak Dia Jauhar,Jisim dan ‘Aradl.dan alam seluruhnya adalah Jauhar,’Aradl dan Jisim.
      Jadi tidaklah Allah Ta’ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu menyerupai Allah Ta’ala,tetapi adalah Dia yang hidup,yang berdiri,yang tidak seperti Nya sesuatu,betapakah kiranya makhluk menyerupai dangan kholiqnya,yang di takdir dengan yang mentakdirkan nya dan yang di bentuk dengan yang membentukkannya.
      Segala Jisim dan ‘Aradl itu seluruhnya adalah di jadikan dan di ciptakan oleh Allah Ta’ala,maka mustahillah menetap
                                                                                      ( 72 )
Kan persamaan dan penyerupaan dengan Dia.

      KETUJUH 
Mengetahui bahwa Allah maha suci zat Nya dari ketentuan dengan arah. Arah itu adakalahnya di atas atau di bawah,di kanan atau di kiri,di muka atau di belakang.
      Arah-arah ini di jadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan (wasithah) kejadian manusia,karena di jadikannya bagi manusia itu dua tepi yang satu berpegang kepada bumi dan di namakan kaki dan yang satu lagi berhadapan dengan bumi dan di namakan kepala,maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah kepala dan nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki.sehingga seekor semut yang berjalan terbalik maka terbaliklah arah atas baginya menjadi arah bawah,meskipun bagi kita itu arah atas namanya.
      Di jadikan Allah bagi manusia dua tangan,yang satu lebih kuat dari yang lain menurut kebiasaan,maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri untuk lawannya,dan di namakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi dan yang mengiringi satu lagi kiri.
                                                                                      ( 73 )
      Di jadikan Allah bagi manusia dua pinggir,dimana manusia itu melihat dari salah satu keduanya dan bergerak kepadanya,maka timbullah nama hadapan (muka) untuk arah,di mana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang untuk lawannya.segala arah ini adalah baharu,datang dengan kedatangan manusia,jikalau tidaklah manusia di jadikan dengan bentuk yang ada ini,tetapi di jadikan bundar seperti bola maka tak adalah sekali-kali arah-arah itu.
      Maka bagaimanakah wujud Allah itu pada azali di tentukan dengan arah,sedang arah itu adalah baharu.atau bagaimanakah terjadinya penentuan Allah dengan arah sesudah tak ada bagi Nya yang demikian? Apakah caranya dengan :Allah menjadikan alam di atasNya? Maha suci Allah dari pada atas bagiNya karena maha sucilah Dia dari mempunyai kepala,dan atas adalah ibarat dari apa yang ada di juruskan kepala. Atau dengan : Allah menjadikan alam di bawah Nya,maha sucilah Allah dari ada bawah bagi Nya, karena maha sucilah Dia dari mempunyai kaki,dan bawah adalah ibarat dari apa yang mengiringi jurusan kaki.

                                                                                      ( 74 )  
      Semua itu termasuk di antara yang mustahil pada akal,karena yang di terima akal dari adanya tertentu dengan arah,bahwa Dia itu terdahulu dengan segi ketentuan Jauhar atau ketentuan dengan Jauhar sebagai ketentuan ‘Aradl.dan telahteranglah mustahil wujudnya Allah itu Jauhar atau ‘Aradl dari itu maka mustahil pulalah wujud Nya itu tertentu dengan arah.
      Mengenai pengangkatan kedua tangan ketika berdo’a kepada Allah kearah langit,adalah karena langit itu qiblat do’a dan dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat Allah dengan kebesaran dan ke agungan sebagai peringatan menuju kearah tinggi atas sifat kemuliaan dan keagungan.
      Sesungguhnya Allah Ta’ala maha tinggi diatas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.

      KEDELAPAN
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala ber-istiwa’ di atas  ‘Arasy Nya,dengan arti yang di kehendaki Allah dengan istiwa’ itu yaitu yang tiada berlawanan dengan sifat keagungan Nya.dan tiada tersentu kepada Nya tanda-tanda kebaharuan dan kefanaan (kelenyapan)
                                                                                      ( 75 )
      Inilah yang dimaksud dengan istiwa’ kelangit,dimana Allah Ta’ala berfirman (s.Hamim As-Sajadah 11) :
ثم استوي إلي السماٰ وهي دخان


      “Kemudian Dia( Allah) menuju langit dan langit itu masih merupakan asap.”
      Ahli kebenaran (ahlul haq) memerlukan kepada pena’wilan ini sebagai mana ahli kebatinan (ahlul batin) memerlukan kepada pena’wilan.Nabi Muhammad bersabda : “hati mu’min itu di antara dua anak jari dari anak-anak jari Allah yang maha pengasih.” Di artikan kepada qudrat dan kuasanya Allah.
      Dan Nabi Muhammad saw bersabda : “ batu hitam (hajaral aswad) adalah tangan kanan Allah di bumi Nya.” Diartikan kepada kemuliaan dan keagungan hajral aswad.karena kalau di biarkan atas zhohir nya niscaya mestilah timbul kemustahilan.
      Maka demikian pulala istiwa’ kalau di biarkan artinya kepada menetap dan bertempat,maka tentulah yang bertempat
                                                                                      ( 76 )
 itu jisim.yang bersentu dengan ‘Arasy. Adakalanya seperti                                                                                       ‘Arasy atau lebih besar atau lebih kecil dari padanya.yang demikian itu adalah mustahil dan tiap-tiap yang membawa kepada mustahil adalah mustahil.

      KESEMBILAN
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala serta keadaan Nya maha suci dari pada bentuk dan batas.maha qudus dsari pada arah dan penjuru.adalah Ia dilihat dengan mata kepala dan mata hati di negeri akhirat-negeri ketetapan,karena firman Allah (s.Al-Qiamah 22-23):
وجوه يومِيذ ناضرة إلي ربها ناظرة


      “Wajah-wajah(orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri .kepada tuhannyalah mereka melihat.”
      Dan Allah Ta’ala tidak bias di lihat di dunia,firman Nya (s.Al-An’am 103):
لاتدركه الابصار وهويدرك الابصار
                                                                       
                                                                                      ( 77 )
      “                                                                                                                                                                                                   
      “Dia tidak dapat di capai oleh penglihatan mata,sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.”

      KESEPULUH
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala maha esa tidak sekutu bagi Nya,tunggal,tiada teman bagi Nya,sendirian dengan menjadikan dan menciptakan dan maha kuasa,tiada yang seperti Nya untuk membagi-bagi dan menyamai Nya,tiada bagi Nya untuk bertengkar dan bermusuhan.
      Firman Allah Ta’ala (s. Al-Anbiya’ 22) :

لوكان فيهما اٰلهة إلا الله لفسدتا.الاية

      “Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah,tentulah keduanya itu telah rusak binasa.”   
      Keterangannya : jikalau Tuhan itu dua dan salah satu dari pada keduanya menghendaki sesuatu,maka Tuhan yang kedua jika di perlukan kepada pertolongan nya niscaya adalah Tuhan yang kedua ini menjadi terpaksa yang tidak berdaya dan tidaklah dia sebagai Tuhan yang berkuasa penuh,jika dia

                                                                                      ( 78 )                                                                       
Berkuasa membantah dan menolak maka adalah tuhan yang kedua ini kuat lagi gagah perkasa dan tuhan yang pertama lemah tak berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.                                                                                        
     








                                                                                      ( 79 )

      RUKUN KEDUA  :  Mengetahui Sifat-sifat
                                         Allah Ta’ala

                                  ________________________________

      PERTAMA    
Mengetahui bahwa yang menciptakan ala mini adalah maha kuasa,bahwa Allah maha benar dengan firman Nya (s. Al-Maidah 120) :

وهو علي كل شيء قدير

      “Dia maha kuasa atas segala sesuatu.”
Karena alam ini kokoh didalam perbuatannya,teratur di dalam kejadiannya.
      Barang siapa melihat sehelai kain sutera yang baik tenunan dan susunannya,teratur bunga dan pinggirnya,lalu menyangka bahwa tenunan itu datang nya dari seorang mati yang tidak bertenaga atau dari srorang manusia yang tak berdaya.maka orang yang melihat sutra tadi adalah telah
                                                                                      ( 80 )
 tercabut dia dari sifat berakal dan telah terjerumus dalam rantai kebodohan.

      KEDUA
Mengetahui bahwa Allah Ta’ala maha tahu segala yang maujud (yang ada),meliputi ilmu Nya dengan segala makhluk.tidak dari ilmu Nya seberat biji sawipun,baik di bumi atau di langit. Maha benar Allah dengan firman Nya (s.Al-Baqoroh 29) :

وهو بكل شيء عليم

      “Dan Dia maha tahu atas segala sesuatu.”
      Allah memberi petunjuk kepada kita,kepada berbut adil dengan makhluk Nya.dengan mengetahui bahwa kita tidak menaruh keraguan,tentang mendalilkan makhluk yang halus dan kejadian yang di hiasi dengan teratur itu.walaupun pada benda yang kecil lemah sekalipun. Untuk membuktikan atas maha tahu penciptanya cara menyusun dan mengatur.
                                                                                                                                       
                                                                                      ( 81 )
      Maka apa yang di sebutkan Allah Ta’ala itu adalah petunjuk dan pengenal yang amat mendalam.

      KETIGA
      Mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu hidup, barang siapa  ada ilmunya dan tenaganya tentu saja ada hidupnya.
      Jikalau tergambarlah seorang yang bertenaga, berilmu, berbuat dan mengatur tanpa ada ia hidup, maka bolehlah diragukan mengenai hidupnya hewan-hewan yang bulak-balik bergerak dan berdiam diri, bahkan mengenai hidupnya ahli-ahli tekhnik dan perusahaan.
      Hal yang seperti itu adalah membenamkan diri kedalam lembah kebodohan dan kesesatan.

      KEEMPAT
      Mengetahui bahwa Allah Ta’ala berkehendak (beriradah) bagi segala af’alnya,maka tak adalah yang maujud melainkan bersandar kepada kehendaknya dan dating dari iradatnya. Dialah yang menjadikan dan mengembalikan yang berbuat sekehendaknya.

                                                                                      ( 82 )
      Bagaimanakah Dia tidak berkehendak ? tiap-tiap perbuatan yang dating dari padanya, mungkin bahwa datang lawanya,dan yang tak ada lawannya,maka mungkin datang itu sendiri sebelumnya atau sesudahnya. Dan qudrah itu adalah bersesuaian bagi dua yang berlawanan dan bagi dua waktu sebagai suatu kesesuaian.maka tak boleh tidak dari pada iradah untuk menentukan qudrah itu kepada salah satu dari pada iradah untuk menentukan qudrah itu kepada salah satu dari pada dua yang akan di hubungi qudrah tadi.
      Kalau mencukupi ilmu saja tanpa iradah,untuk menentukan sesuatu yang di ketahui (al-ma’lum) sehingga di katakana bahwa perbuatan itu di peroleh pada waktu yang telah terdahulu ilmu dengan wujud nya,maka sesungguhnya boleh pula mencukupi tanpa qudrah,sehinga di katakana bahwa perbuatan itu di peroleh tanpa qudrah, karena telah terdahulu ilmu dengan wujudNya.

      KELIMA
      Mengetahui bahwa Allah Ta’ala maha mendengar, melihat, tidak luput dari pada penglihatan Nya segala yang terlintas di dalam hati. Sangka dan fikiran yang tersembunyi
                                                                                      ( 83 )
Dan tidak luput dari pada pendengaran Nya, bunyi langkah semut hitam di malam yang gelap di atas batu yang hitam. Betapa tidak Dia mendengar lagi melihat.
      Mendengar dan melihat tak ada tempat untuk di bantah adalah kesempurnaan, bukan kekurangan. Maka bagaimana makhluk itu berada lebih sempurna dari pada Kholiq ? yang di buat lebih tinggi dan cukup dari pada yang membuat ? bagaimanakah betul pemikiran, manakala kekurangan ada pada Tuhan dan kesepurnaan ada pada makhluk dan pada perbuatannya? Atau bagaimanakah menjadi betul keterangan nabi Ibrahim as, menghadapi ayahNya tatkala ayahNya itu menyembah berhala karena kebodohan dan kedunguan? Lalu bersabda nabi Ibrahim as, kepadanya ( s.Maryam 42) :

اذ قال لابيه ياٰبت لم تعبد ما لايسمع و لايبصر ولايغني عنك شيا

      “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada Bapak Nya : wahai Bapakku,mengapa kamu menyembah sesuatu yang

                                                                                      ( 84 )                           
Tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun.” 
      Jikalau terbaliklah yang demikian itu, kepada zat yang di sembah Ibrahim maka sesungguhnya keterangan menjadi hancur dan dalilnya menjadi gugur dan menjadi tidak benarlah, firman Allah Ta’ala ( s. Al-An’am 83 ) :

وتلك حجتنا اٰتينها إبراهيم علي قومه
      “Dan itulah alasan-alasan yang kami berikan kepada Ibrahim menghadapi kaumnya.”
      Sebagaimana di pahami dengan akal, bahwa Allah Ta’ala berbuat tanpa anggota, mengetahui tanpa hati dan otak maka hendaklah di pahami pula bahwa Allah Ta’ala melihat tanpa biji mata dan mendengar tanpa telinga karena tak adalah perbedaan di antara keduanya.

      KEENAM
      Bahwa Allah Ta’ala berkata-kata (mutakallim) dengan kata-kata, yaitu suatu sifat yang berdiri pada zat Nya, tidak dengan suara dan huruf. Bahkan tiada serupa kalam (kata-kata

                                                                                      ( 85 )
Allah dengan kata-kata lain, sebagaimana tidak serupa wujud Nya dengan wujud lain nya.
      Kata yang sebenarnya ialah kata hati, suara itu ialah yang mengeluarkan huruf-huruf untuk menunjukkan kepada yang di maksud, sebagaimana di tunjukkan, kadang-kadang dengan gerak dan kadang-kadang dengan isyarat kepadanya.
      Orang yang tiada dapat memahami bahwa Qodim itu adalah ibarat dari pada sesuatu yang belum ada sebelumnya sesuatu, dan bahwa huruf “BA” adalah sebelum huruf “SIN” dalam bacaan “BISMILLAH” maka tidak adalah huruf “SIN” yang terkemudian dari pada huruf “BA” itu Qodim. Maka bersihkanlah hatimu dari pada menoleh kepadanya.
      Allah Ta’ala mempunyai sirr (rahasia) untuk menjauhkan sebagian dari pada hambanya, dan barang siapa di sesatkan Allah maka tak ada yang memberi petunjuk kepadanya. Barang siapa merasa ragu bahwa Nabi Musa as. Mendengar di dunia ini KALAM yang tidak dengan suara dan huruf maka tentulah ia menentang akan melihat di akhirat yang maujud. Yang tidak dengan jisim dan warna.


                                                                                      ( 86 )
      Dan kalau kalau di terima akal nya bahwa ia akan melihat apa yang tiada dengan warna, jisim, batas dan ukuran, sedang ia sampai sekarang belum melihat Nya. Maka hendaklah ia berfikir mengenai panca indra pendengaran akan apa yang dapat di fikirkan nya mengenai panca indra penglihatan itu.
      Jika dapat di fikirkannya bahwa bagi Allah satu ilmu (pengetahuan yang satu) yaitu mengetahui segala yang ada (maujudat), maka hendaklah di fikirkannya akan suatu sifat bagi zat yaitu kalam (sifat berkata-kata) dengan segala apa yang di tunjukkan oleh semua penuturan kepadanya.

      KETUJUH
      Bahwa kalam yang berdiri dengan sendirinya itu Qodim dan begitu pula sekalian sifat Allah. Karena mustahil bahwa ada Ia tempat bagi segala yang baharu, yang masuk di bawah pengaruh perobahan. Tetapi wajiblah bagi sekalian sifat dari sifat-sifat Qodim akan apa yang wajib bagi zat. Maka tidaklah di datangi oleh perobahan dan tidaklah di tempati oleh segala yang hadits (yang baharu).tetapi senantiasalah pada Qidam Nya. Bersifat dengan segala sifat yang terpuji dan tetaplah di dalam keabadian Nya seperti itu. maha suci dari segala
                                                                                      ( 87 )
perobahan keadaan,karena suatu yang menjadi tempat bagi segala yang baharu.dan sesuatu yang tidak terpisah dari pada segala yang baharu maka adalah dia itu baharu dan sesungguhnya tetaplah sifat baharu itu bagi jisim di mana dia datangi perobahan dan pertukaran bagi sifat-sifatnya.
      Maka bagaimanakah Khaliq itu bersekutu dengan segala yang baharu dalam menerima perobahan? Dan berdasarkan kepada ini maka seyogialah bahwa kalam Allah itu Qodim, berdiri dengan zat Nya. Dan yang baharu itu ialah suara-suara yang menunjukkan kepadanya.
      Sebagaimana di pahami, tegaknya tuntutan belajar dan kemauan nya pada diri seorang ayah terhadap anak itu di lahirkan. Sehingga apabila anak itu telah lahir dan berakal serta dijadikan Allah baginya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang ada di dalam hati ayah nya dulu. Dari tuntutan yang menjadi suruhan dengan tuntutan itu yang telah bangun pada diri sang ayah dan tetap adanya sampai kepada waktu anak nya mengenal akan hal itu.maka hendaklah di pahami pula akan tegaknya tuntutan yang di tunjukkan kepadanya.

                                                                                      ( 88 )
      Firman allah Ta’ala (s. Thoha 12) :

فاخلع نعليك، الاية

      Maka tanggalkanlah (bukalah) kedua terompahmu.”
Dengan zat Nya dan jadinya Nabi Musa di tunjukkan dengan firman itu setelah adanya,karena telah di jadikan kepada Nabi Musa ma’rifat dengan tuntutan itu dan di dengar nya untuk itu kalam qodim.

      KEDELAPAN
      Bahwa ilmu Allah itu Qodim, maka senantiasa Ia mengetahui dengan zat Nya, sifat Nya dan apa yang terjadi dengan makhluk Nya
      Manakalah telah di jadikan makhluk maka tidak dating bagi Allah ilmu mengetahui makhluk itu. tetapi hasillah segala makhluk itu terbuka bagi Nya dengan ilmu Nya yang azali. Karena jikalau di jadikan bagi kita pengetahuan untuk mengetahui dengan kedatangan si fulan ketika terbit matahari

                                                                                      ( 89 )
Dan berkekalanlah pengetahuan tadi di umpamakan sampai terbit matahari maka sesungguhnya adalah kedatangan si fulan itu ketika terbit matahari menjadi pengetahuan bagi kita dengan pengetahuan itu tanpa pembaharuan pengetahuan yang lain. maka begitu pulalah seyogyanya di pahami akan Qidam Allah Ta’ala.

      KESEMBILAN
      Bahwa Iradah Allah itu Qodim, Iradah pada Qidamnya, bersangkutan dengan menjadikan segala yang baharu pada waktunya yang layak. Sesuai dengan kedahuluan ilmu Allah yang azali. Karena jikalau adalah Iradah itu baharu niscaya jadilah Allah itu tempat bagi yang baharu. Dan jikalau terjadi segala yang baharu dari pada bukan zatNya niscaya tak adalah Dia yang berIradah padanya, sebagaimana tidak adalah engkau yang bergrak dengan sesuatu gerakan yang tidak ada gerakan itu dari pada diri engkau.
      Bagaimanapun juga kalau di takdirkan Iradah Alah itu baharu, maka berhajatlah kebaharuannya itu kepada Iradah yang lain dan begitu pula Iradah yang lain itu berhajat kepada

                                                                                      ( 90 )
Iradah yang lain lagi. Dan tali bertalilah (tasalsul) hal itu kepada tiada berkesudahan.
      Jikalau boleh Allah mendatangkan Iradah dengan tanpa Iradah maka boleh pulalah Ia mendatangkan alam tanpa Iradah.

      KESEPULUH
      Bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayat, berkuasa dengan qudrah,berkehendak dengan iradah, berkata-kata dengan kalam, mendengar dengan sama’ dan melihat dengan basher.
      Semua sifat ini bagi Allah Ta’ala adalah sifat-sifat yang qodim.
      Perkataan dari orang yang mengatakan : orang yang berilmu tanpa ilmu samalah seperti katanya orang kaya tanpa harta. Ilmu tanpa orang yang berilmu. Dan orang berilmu tanpa ada yang di ketahui.




                                                                                      ( 91)
      RUKUN KETIGA   : Mengetahui dengan segala
                                          Af’al Allah

                                      ______________________________
    
      PERTAMA
      Mengetahui bahwa tiap-tiap yang baharu pada alam adalah perbuatan (af’al) Allah, yang di jadikan dan yang di ciptakan Nya. Tak adalah Kholiq bagi alam itu selain Dia (Allah). Tak adalah yang menjadikan makhluk melainkan Dia (Allah). Allah yang menjadikan makhluk yang membuatnya dan yang mengadakan Qudrah dan gerak bagi makhluk.
      Maka sekalian af’al Nya adalah makhluk Nya dan bergantung dengan Qudrah Nya. Hal mana di benarkan yang demikian pada firman Allah (s. Ar-Ra’ad 16) :

اٰلله خالق كل شيء
      “Allah itu pencipta segala sesuatu.”


                                                                                      
                                                                                      ( 92 )

      Firman Allah swt (s. Ash-Shoffat 96) :

والله خلقكم وماتعملون
      Dan sesungguhnya Allahlah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
      Firman Allah swt (s. Al-Mulk 13-14) :

واسروا قولكم اواجهروا به إنه عليم بذات الصدور الا يعلم من خلق وهو اللطيف الخبير
      “Kamu rahasiakan perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terang, sesungguhnya Allah itu mengetahui isi hati. Tidaklah Allah itu mengetahui apa yang di ciptakan Nya, dan Allah maha lemah lembut dan maha mengerti.’
      Disuruh hambaNya berhati-hati pada pembicaraan, perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena Allah mengetahui tepat kedatangan segala perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil atas pengetahuan Nya dengan makhluk Nya.
      Bagaimanakah tidak Allah itu khaliq, yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang Qudrah Nya adalah maha

                                                                                      ( 93 )

Sempurna tak ada kekurangan pada Nya.
      Qudrah itu bersangkutan dengan gerak tubuh segala hamba Nya, dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain. dan sangkutan Qudrah dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerik itu sendiri. Maka apakah yang menghambat sangkutannya Qudrah dari sebagian gerak dan tidak pada sebagian lagi. Sedang gerak-gerik itu sama?

      KEDUA
      Bahwa Allah sendirilah yang maha suci, menjadikan segala gerak hambanya, dengan arti : tidaklah keluar gerak-gerik itu dari kekuasaan hamba Nya sendiri atas jalan usaha. Dan Allah yang menjadikan Qudrah hamba (usaha) dan yang di kuasainya. Allah yang menjadikan usaha (ikhtiyar) dan yang di usahakan.
      Adapun Qudrah adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi Allah yang maha suci dan tidaklah Qudrah itu dengan usaha hamba sendiri.
      Adapun gerak maka adalah makhluk bagi Allah, sifat dan usaha bagi hamba, gerak itu di jadikan. Yang di kuasakan dengan sebab qudrah, di mana ia menjadi sifat bagi hamba
                                                                                      ( 94 )
Gerak itu mempunyai hubungan kepada suatu sifat yang lain. yang di namakan Qudrah, lalu gerak tadi dengan memandang kepada hubungan itu di namakan usaha.
      Bagaimanakah gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat di ketahui akan perbedaan di antara gerak dari Qudrah dan gerak mudah yang biasa? Atau bagaimanakah usaha itu di jadikan oleh hamba, padahal tidak meliputi ilmunya dengan segala perincian bagian-bagian gerak yang di usahakan dan jumlah bilangannya?.
      Apabila batillah kedua tepi itu (paksaan semata atau di jadikan oleh hamba sendiri) maka tidak adalah yang tinggal, selain yang sederhana dalam ke I’tiqadan yaitu bahwa gerak itu di Qudrahkan dengan Qudrah Allah sebagai ciptaan dan dengan Qudrah hamba atas segi yang lain dari hubungan, yang di sebut dengan usaha. Dan tidaklah dengan mudah di pahami, hubungan Qudrah dengan yang di Qudrahkan itu. bahwa adanya dengan ciptaan saja. Karena Qudrah Allah pada azali (zaman yang tidak ada awal dan akhir) telah ada berhubungan dengan alam dan tidaklah ciptaan itu berhasil dengan Qudrah, di mana Qudrah ketika ciptaan itu. berhubungan dengan alam dalam macam hubungan yang lain
                                                                                      ( 95 )
maka dengan itu, nyatalah bahwa hubungan Qudrah tiadalah di tentukan dengan berhasil nya yang di Qudrahkan dengan qudrah itu.

      KETIGA
      Bahwa pekerjaan hamba meskipun itu adalah usaha hamba sendiri, tetapi tidaklah keluar dari adanya dengan kehendak Allah. Maka tidaklah berlaku di alam nyata (‘alam al-mulki) dan alam yang tidak nyata (‘alam al-malakut). Suatu penglihatan mata. Suatu lintasan di hati, melainkan adalah dengan Qodha, Qudrah, Iradah Allah. Perkara yang buruk dan yang baik, yang bermanfaat dan yang melarat, islam dan kufur. Mengakui dan mengingkari, kemenangan dan kerugian, kesesatan dan petunjuk, tha’at dan ma’siat, syirik dan iman.tak ada yang menolak bagi Qadha Nya. Tak ada yang menentang bagi hukumNya. Di sesatkannya akan siapa yang di kehendakiNya dan di tunjuki Nya akan siapa yang di kehendakiNya. Tidaklah Dia (Allah) di tanyakan dari pada apa yang di perbuat Nya, sedang mereka (manusia) di tanyakan.

                                                                                      ( 96 )
      KEEMPAT
      Bahwa Allah Ta’ala mengurniakan dengan menjadikan dan menciptakan serta menganugerahkan ni’mat dengan memberikan kewajiban kepada hambaNya, dan tidaklah menjadikan dan memberikan taklif itu wajib atas Allah.
      Berkata golongan mu’tazilah bahwa yang demikian itu wajib atas Nya, karena ada kemuslihatan hamba kepadaNya.
      Itu adalah mustahil, karena Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan yang melarang, maka bagaimanakah di tujukan kepada Nya kewajiban atau di datangkan sesuatu kemestian dan pikulan.
      Dan yang di maksud dengan kewajiban ialah salah satu dari pada dua ; adakalanya perbuatan yang memberi melarat kalau di tinggalkan, baik kemelaratan itu pada masa yang akan datang, umpamanya di katakana : wajiblah atas hamba berbuat tha’at kepada Allah, sehingga dia tidak di ‘azab di akhirat dengan api neraka. Atau kemelaratan itu pada masa dekat, umpamanya di katakana : wajiblah minum atas orang yang haus  supaya dia tidak mati. Adakalahnya yang di maksudkan dengan kewajiban itu.ialah suatu yang membawa kepada mustahil oleh tidak adanya, umpamanya di katakan :
                                                                                      ( 97 )
Adanya yang di ketahui itu wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada mustahil, yaitu jadinya ilmu itu kebodohan.
      Kalau di kehendaki oleh pihak lawan dengan: bahwa menjadikan itu wajib atas Allah- dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah mendatangkan kepada kemelaratan, dan kalau di kehendaki nya dengan arti yang kedua maka dia adalah seorang muslim, karena setelah di dahulukan oleh ilmu maka tak boleh tidaklah ada yang di ketahui (al-ma’lum). Dan kalau di kehendakinya, dengan arti yang ketiga, maka itu tidak dapat di pahami.

      KELIMA
      Bahwa jaiz (tidak wajib dan tidak mustahil) bagi Allah memikulkan (mentaklifkan) atas makhluk apa yang tidak di sanggupinya.

      KEENAM
      Bahwa bagi Allah Ta’ala menyakitkan dan meng’azab makhluk Nya tanpa ada dosa yang terdahulu dan tanpa ada pahala yang akan datang. Sebaliknya dengan pendapat mu’tazilah.
                                                                                      ( 98 )                
      Hal ini adalah karena Allah Ta’ala berbuat pada milikNya. Dan tidaklah tergambar bahwa akan melampaui perbuatanNya akan milikNya. Zholim adalah ibarat dari berbuat pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil atas Allah karena tidaklah di jumpai akan adanya milik orang lain sehingga dapat di katakana bahwa perbuatanNya itu zholim.
      Di buktikan kepada bolehnya yang demikian oleh adanya. Menyembelih hewan adalah menyakitkan bagi hewan. Dan apa yang menimpa atas diri hewan itu dengan bermacam-macam ‘azab dari pihak manusia, tidaklah di dahului oleh adanya dosa hewan.
      Kalau ada yang mengatakan : bahwa Allah Ta’ala akan membangkitkan hewan-hewan itu dan akan memberi ganjaran yang sesuai dengan penderitaan yang dialaminya dan yang demikian itu wajib atas Allah.
      Maka atas perkataan itu kami menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas  Allah menghidupkan tiap semut yang terpinjak dan tiap binatang kecil yang terbunuh, untuk memberikan pahala atas segala penderitaannya. Adalah sesungguhnya telah keluar dari syariat dan akal.
                                                                                      ( 99 )
Karena dengan itu dapat di katakana bahwa menyifatkan pahala dan kebangkitan itu menjadi kewajiban atas Allah. Bila di maksudkan dengan meninggalkannya membawa kepada melarat maka itu adalah suatu yang mustahil. Dan jika dimaksudkan yang lain, maka telah di terangkan dahulu bahwa itu tidak dapat di pahami apabila telah keluar dari pengertian-pengertian yang di sebut bagi wajib.

      KETUJUH
      Bahwa Allah Ta’ala berbuat sekehendak Nya. Dengan hambaNya, tiada wajib atas Nya menjaga yang lebih baik bagi hambanya, sebab Allah tidaklah di tanyakan dari pada apa yang di perbutNya dan makhlukNyalah yang di tanyakan.
      Alangkah ganjilnya apa yang di wajibkan oleh golongan Mu’tazilah itu katanya, bahwa berbuat yang lebih baik adalah wajib atas Tuhan mengenai persoalan yang di majukan kepadanya. Yaitu dengan di berikannya contoh perdebatan di akhirat di antara seorang anak kecil dan seorang dewasa, di mana keduanya meninggal sebagai muslim, Allah menambahkan derajat orang yang sudah dewasa dan
                                                                                      ( 100 )
 melebihkannya dari anak kecil karena ia telah payah dengan beriman dan melakukan tha’at setelah dia dewasa. Dan yang demikian itu wajib atas Allah menurut orang mu’tazilah.
      Kalau anak kecil itu berkata : wahai Allah! Mengapakah Engkau tiggikan derajatnya dari pada derajatku?.
      Maka Allah menjawab : “karena dia telah dewasa dan rajin mengerjakan tha’at.” 
      Lalu anak kecil itu menjawab : “Engkau telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah kewajiban Engkau meneruskan hidupku sampai aku baligh maka aku rajin beribadah. Engkau telah berpaling dari keadilan dengan memberikan kepadanya kelanjutan umur.sedang aku tidak, mengapakah dia Engkau lebihkan ?”
      Maka Allah menjawab : “ karena Aku tahu bahwa kalau engkau (anak kecil) dewasa niscaya engkau menjadi musyrik atau pendurhaka, maka adalah lebih baik bagimu mati sewaktu kecil.”
      Ini dima’afkan orang Mu’tazilah dari tuhan, dan ketika itu orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah dari neraka berkata : “Ya Allah! Apakah Engkau tiada mengetahui bahwa

                                                                                      ( 101 )  
Kami apabila telah dewasa menjadi orang musyrik? Mengapa Engkau tidak matikan kami sewaktu kecil? Kami rela dengan derajat yang lebih rendah dari pada derajat anak kecil muslim itu.”         
      Maka dengan apakah di jawab waktu itu? dan tidak haruslah ketika itu selain dari keputusan bahwa urusan ketuhanan adalah maha suci dengan dengan keagungan dari pada ditimbang dengan timbangan orang Mu’tazilah itu.
      Kalau di katakana bahwa manakalah di takdirkan kepada pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian di timpakan kepada mereka sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian itu keji, tidak layak dengan kebijaksanaan’
      Maka kami menjawab bahwa keji adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan maksuk, sehingga kadang-kadang sesuatu itu adalah keji pada seseorang dan baik pada yang lain. apabila sesuai dengan maksud salah seorang dari keduanya dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh seseorang di pandang keji oleh teman-temannya dan di pandang baik oleh musuh-musuhnya.

                                                                                      ( 102)   
      Kalau di maksud dengan keji ialah suatu yang tiada sesuai dengan maksud Allah yang maha suci maka itu adalah mustahil, karena tak adalah maksud bagi Allah. Maka tidak tergambarlah dari pada Nya keji sebagaimana tidak  tergambar dari pada Nya zhohir, karena tidak tergambar dari pada nya berbuat pada milik orang lain.

      KEDELAPAN
      Bahwa mengenal (ma’rifat) akan allah Ta’ala dan berbuat tha’at kepada Nya adalah wajib, dengan di wajibkan oleh Allah dan syari’at Nya tidak oleh akal, sebaliknya bagi orang Mu’tazila karena akal walaupun dia mewajibkan tha’at maka tidaklah terlepas, adakalanya dia mewajibkan itu tanpa faedah. Dan itu adalah mustahil. Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia-sia. Dan adakalanya dia mewajibkan karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya kembali. Faedah dan maksuk itu kepada tuhan yang di sembah. Dan itu adalah mustahil pada hak Allah. Bahwa Allah maha suci dari pada segala  maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, tha’at dan ma’siat pada pihak Allah itu sama. Dan adakalahnya kembali  yang demikian itu

                                                                                      ( 103 ) 
Kepada maksud hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak ada maksud bagi hamba sekarang bahkan ia saja payah menyingkirkan diri dari hawa nafsu karena nya. Dan tak ada pada hari kembali selain dari pada pahala dan siksa, dan dari manakah di ketahui bahwa Allah akan memberi pahala di atas perbuatan ma’siat dan tha’at dan tidak menyiksa di atas kedua perbuatan tadi, sedang tha’at dan ma’siat pada hak Allah adalah sama? Karena tidaklah Allah itu condong kepada sala satu dari pada keduanya, dan tidaklah bagi salah satu dari pada kedua itu mempunyai kepentingan dengan Allah Ta’ala.
      Sesungguhnya di ketahui perbuatan yang demikian itu adalah dengan agama. Dan telah terjerumuslah orang yang mengambil ini menjadi perbandingan di antara Kholik dan makhluk, di mana dia membedakan di antara syukur dan kufur. Karena dia memperoleh kesenangan, kemuliaan dan kelezatan dean salah satu dari pada keduanya dan tidak dengan yang lain.
      Kalau di katakana, apabila tidak wajiblah memandang dan mengenal Alah selain dengan agama dan agama itu tidak tetap selama orang yang mukallaf tidak menaruh perhatian kepadanya, maka apabila orang mukallaf itu berkata kepada
                                                                                      ( 104 )
nabi saw bahwa akal tidaklah mewajibkan kepada memperhatikan dan agama tidaklah menetap padaku, selain dengan memperhatikan tadi dan aku tidak tampil kepada memperhatikan yang membawa kepada meyakinkan kebenaran Rasul saw.
      Kami menjawab ; bahwa ini menyerupai dengan kata orang yang mengatakan kepada orang yang berdiri pada salah satu tempat ; bahwa di belakangmu ada binatang buas yang menekam, kalau kamu tidak lari dari tempat itu niscaya kamu akan di bunuh nya. Dan kalau kamu berpaling kebelakang dan melihat maka kamu akan tahu kebenaranku.
      Maka menjawab orang yang berdiri itu : “tidak menyakinkan kebenaranmu selama aku belum berpaling. Dan aku akan berpaling kebelakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata kebenaranmu!”
      Maka ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang mengatakan itu. dan membawa dirinya kepada kebinasaan dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang menunjukkan jalan itu.


                                                                                      ( 105 )
      Maka begitulah Nabi saw yang mengatakan : “bahwa di belakangmu mati, di sana binatang buas dan api me,baker, kalau kamu tidak berhati-hati dari padanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan memperhatikan kepada mu’jizatku, niscaya binasalah kamu, barang siapa menaruh perhatian niscaya mengenal, berhati-hati dan selamatlah dia. Dan barang siapa tidak memperhatikan dan terus-menerus demikian maka binasa dan terjerumuslah dia. Dan tak ada memberi kemelaratan apa-apa kepadaku jika manusia seluruhnya binasa. Sesunguhnya kewajibanku hanyalah menyampaikan dengan tegas dan jelas.”
      Agama memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan akal menfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi asw dan menyakininya dengan kemungkinan apa yang di katakannya pada masa yang akan datang. Dan tabi’at manusia menggerakkan supaya berhati-hati dari kemelaratan.
      Dan arti bahwa sesuatu itu wajib ialah kalu meninggalkan nya mendatangkan melarat. Dan arti bahwa agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenalkan akan kemelaratan yang

                                                                                      ( 106 )     
 akan terjadi. Karena itu tiada dapat mereka dengan kemelaratan sesudah mati. Ketika ia menuruti hawa nafsu
      Inilah arti agama dan akal serta pengaruh kedua nya untuk menilaikan yang wajib itu. jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan. Meninggalkan apa yang di suruh maka tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu, kecuali ada hubungan kemelaratan di akhirat denga meninggalkannya.

      KESEMBILAN
      Bahwa tidaklah mustahil pengutusan Nabi-Nabi as, sebaliknya bagi kaum Brahma yang mengatakan bahwa tak adalah faedahnya mengutus Nabi Nabi itu karena akal cukup mendapat kesempatan,terpa mereka. Sebab akal tidaklah memperoleh petunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang melepaskan di akhirat. Sebagaimana tidaklah memperoleh petunjuk kepada obat-obatan yang memberi faedah bagi kesehatan.
      Kebutuhan makhluk kepada Nabi-Nabi adalah seperti kebutuhan mereka kepada dokter-dokter, tetapi di kenal kebenaran dokter dengan percobaan dan di kenal kebenaran
                                                                                      ( 107 )
Nabi dengan Mu’jizat.
    
      KESEPULUH
      Bahwa Allah Ta’ala telah mengutus nabi Muhammad saw, kesudahan segala Nabi dan pembatalan (nasikh) syari’at-syari’at sebelumnya. Syari’at Yahudi, Nasrani dan majusi. Allah menguatkan Nabi Muhammad saw itu dengan mu’jizat yang nyata dan tanda-tanda yang jelas seperti : terbelah bulan, bertasbih batu, berbicara hewan dan terpancar air diantara jari-jari Nabi Muhammad saw.
      Diantara tanda-tanda yang jelas ialah keagungan Al-Qu’an menghadapi tantangan orang arab. Di mana orang-orang arab itu terkenal dengan fasih dan lancar berbicara, bermaksud hendak menawan, menangkap, membunuh dan mengusir nabi Muhammad saw, sebagaimana di ceritakan Allah tentang tujuan mereka itu. tetapi mereka tidak mampu mendatangkan seperti Al-Qur’an, karena tidak dalam kemampuan manusia terkumpul di antara kebagusan susunan Al-qur’an dan teraturnya.


                                                                                      ( 108 )
      Serta isinya Al-Qur’an dengan memberitakan berita-berita terdahulu, di mana Nabi Muhamad saw adalah ummi (tak tahu tulis baca), tidak perna memegang buku dan menceriterakan hal-hal yang ghoib mengenai keadaan-keadaan di masa depan yang di yakini kebenarannya. Firman Allah Ta’ala (s. Al-Fatah 27) :

لتدخلن المسجد الحرام إن شاٰ الله اٰمنين محلقين رؤسكم و مقصرين

     “Bahwa kamu akan memasuki masjid suci, jika Allah menghendaki, dengan perasaan tenteram, bercukur dan bergunting rambut.”
      Dan firman Allah Ta’ala ( s. Ar-Rum 1-4) :

ألم (١) غلبت الروم (٢) في ادني الارض وهم من بعد غلبهم سيغلبون (٣) في بضع سنين


                                                                                      ( 109 )
      “Alif, Lam, Mim. Di kalahkan kerajaan Rum. Di negeri yang dekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam beberapa tahun.”   
      Cara Mu’jizat menunjukkan dalil kepada kebenaran Rasul-Rasul itu ialah tiap-tiap yang tidak di sanggupi oleh manusia, maka itu tak lain dari pada af’al Allah semata.
      Manakala af’al itu menyertai dengan pertahanan atas kebenaran Nabi saw, maka itu seakan-akan Allah berfirman : “Benar engkau! “ tak ubahnya seperti seorang yang berdiri di hadapan raja, dengan mendakwakan dirinya kepada rakyat bahwa dia adalah utusan raja itu kepada mereka.
      Maka manakala ia datang sembah kepada raja, jika ia benar maka sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat duduk tiga kali dan sudilah kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku.!
      Maka raja itu berbuat demikian, sehingga berhasillah bagi segala yang hadir melihat itu pengetahuan dlarurri (pengetahuan mudah tanpa memerlukan pemikiran). Maka perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda : “Benar kamu!”

                                                                                      ( 110 )                                                                                     
      RUKUN KEEMPAT  : Mengenai segala yang di dengar
                                        (sam’iyyat) dan membenarkan
                                        Nabi saw, tentang apa yang di                      
              kabarkannya.
                                    _______________________________

      PERTAMA :
      Kebangkitan dan pengumpulan di hari mahsyar, telah datang agama memperdengarkan keduanya dan itu adalah benar serta wajib membenarkannya, karena menurut akal itu mungkin.
      Arti dari kebangkitan itu ialah, pengembalian hidup setelah mati, yang demian adalah atas Qudrah Allah seperti pada permulaan kejadian. Allah berfirman (s. Yasin 78-79) :
     
قال من يحي العظام وهي رميم. قل يحييها الذي أنشاها اول مرة

      “Katanya : siapa yang akan dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah hancur luluh?.

                                                                                      ( 111 )
Katakanlah : yang menghidupkannya ialah yang menjadikannya pertama kali.”
      Maka Allah memberi dalil dengan permulaan kepada pengembalian itu. firman Allah Ta’ala (s. Luqman 28) :

ما خلقكم ولا بعثكم الا كنفس واحدة

      “Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur hanyalah sebagai menciptakan seorang diri saja.”
      Jadi, pengembalian itu adalah permulaan kedua, maka itu adalah mungkin seperti permulaan pertama.

      KEDUA
      Pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir, telah datang beberapa hadits memperdengarkannya, maka wajiblah membenarkannya, karena itu adalah mungkin, karena tiada yang memerlukan untuk itu selain dari pengembalian hidup kepada beberapa suku badan untuk dapat memahami pertanyaan yang dimajukan.

                                                                                      ( 112 )
      Hal itu dengan sendirinya mungkin dan tidak dapat di bantah oleh apa yang kelihatan bahwa anggota tubuh mayat itu tetap saja dan kita tidak mendengar pertanyaan itu.
      Orang tidurpun pada zhohornya tetap saja, sedang dia merasa dengan bathinnya kesakitan dan kelezatan akan apa yang dirasakannya dari kesan di dalam tidur ketika terbangun.
      Adalah Rasulullah saw mendengar kalam Jibril as, dan melihatnya, sedang orang-orang yang ada di samping Rasulullah saw tidak mendengar dan melihat nya. “mereka tiada mengetahui sesuatu dari pada ilmu Nya selain dengan apa yang di kehendaki Nya.”

      KETIGA
      Adzab kubur, telah datang agama memperdenarkannya, firman Allah Ta’ala (s. Al-Mu’min 46)

النار يعرضون عليها غدوا و عشيا و يوم تقوم الساعة ادخلوا أل فرعون اشد العذاب

                                                                                      ( 113 )                                                                                                                                                                                            
      “ kepada mereka di nampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya kiamat (di katakana kepada Malaikat) : masukkanlah fir’an dan kaumnya dalam adzab yang sangat pedih.’ 
      Dan telah terkenal dari Rasulullah saw, dan salaf yang shahih, di mana mereka berlindung dengan Allah dari pada ‘adzab kubur.
      ‘Adzab kubur itu adalah mungkin, maka wajiblah membenarkannya, dan tidak menjadi halangan dari pada membenarkannya oleh bercerai-berai anggota tubuh mayat di dalam perut binatang buas, sebab apa yang di peroleh oleh bagian-bagian tertentu dari binatang-binatang itu, yang merupakan kesakitan ‘adzab, maka allah berkuasa mengembalikan perasan itu kepada bagian dari tubuh tadi.

      KEEMPAT
      Neraca amal mizan atau timbangan. Timbangan amal itu benar, firman allah ta’ala (s. Al-Ambiya’ 47)

ونضع الموازين القسط ليوم القيمة
                                                                                ( 114 )
                                                                                                            
      “Dan pada hari kiamat itu, kami tegakkan neraca yang betul.”
      Dan firman Allah Ta’ala (s. Al-A’raf 8-9)

فمن ثقلت موازينه فاوليك هم المفلحون. ومن خفت موازينه فاوليك الذين خشروا أنفسهم بما كانوا بايتنا يظلمون

      “Maka barang siapa yang berat timbangan kebaikannya, itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya, itulah orang-orang yang merugi dirinya sendiri, sebab mereka tidak mempercayai keterangan-keterangan kami.”
      Caranya ialah, bahwa Allah menjadikan di dalam lembaran amal perbuatan, timbangan mernurut amal itu pada sisi Allah, sehingga jadilah segala amal perbuatan itu di ketahui oleh hamba itu, maka teranglah kepada mereka keadilan Allah, tentang penyiksaan atau kelimpahan kema’afan dan pergandaan pahala dari Allah.


                                                                                      ( 115 )   
KELIMA
Titian (shirath), yaitu jembatan yang memanjang di atas neraka jahannam, lebih halus dari pada rambut dan lebih tajam dari pada pedang.
Firman Allah Ta’ala (s. As-Shoffat 23-24) :

فاهدوهم إلي صراط الجحيم. وقوهم أنهم مسؤلون

      “Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka, dan suruhlah mereka berhenti (berdiri) karena sesungguhnya mereka akan di tanyai.”
      Titian itu adalah suatu yang mungkin, maka wajiblah membenarkannya. Karena yang berkuasa menerbangkan burung di udara, niscaya kuasa pula menjalankan manusia di atas titian itu.






                                                                                      ( 116 )

      KEENAM
      Bahwa surga dan neraka adalah makhluk Allah. Firman allah (s. Ali “Imran 133) :

وسارعوا الي مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموت والارض أعدّتْ للمتقين

      “Dan cepatlah menuju keampunan Allah dan memasuki surga yang lebarnya seperti langit dan bumi, di sediakan untuk otang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan.’
      Maka firman Allah  “disediakan”  menunjukkan bahwa surga itu makhluk Allah. Maka haruslah di perlakukan secara zhohir. Karena tak ada kemustahilan padanya.
      Tak boleh di katakana bahwa tak ada faedahnya di jadikan surga dan neraka itu sebelum hari pembalasan (hari akhir), karena Allah Ta’ala tidak di tanyakan dari pada perbuatan Nya, sedang mereka (manusia) di tanyakan.



                                                                                      ( 117 )

      KETUJUH
      Bahwa iman yang benar sesudah rasulullah saw ialah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian ‘Ali ra.
      Dan tak adalah sekali-kali ketentuan dari Rasulullah kepada seseorang iman saja karena jikalau ada tentulah lebih jelas orang itu, yang di tegakkan oleh kesatuan wali –wali negeri dan panglima-panglima tentara di dalam negeri.
      Dan tidak tersembunyilah yang demikian,bagaimanakah tersembunyi ini? Dan kalau tidak tersembunyi, maka bagaimanakah terbenam saja sehingga tak ada berita kepada kita?.
      Abu Bakar pun, tidaklah Dia menjadi imam, melainkan dengan pemilihan dan bai’ah.

      KEDELAPAN
      Bahwa kelebihan para shahabat itu adalah menurut nama urutan mereka dalam memegang pimpinan. Karena hakikat kelebihan itu ialah kelebihan pada sisi Allah, dan itu tidak ada yang melihatnya selain Rasulullah saw.


                                                                                      ( 118 )
      Telah bayak ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengandung pujian kepada mereka, sesungguhnya yang mengetahui kelebihan yang halus-halus dan susunan dari kelebihan itu ialah mereka yang menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur’an dengan pertanda-pertanda keadaan dari perincian yang meneliti. Jikalau mereka tidak memahami yang demikian, maka mereka tidak menyusun urutan seperti itu. karena mereka tidaklah di timpakan dengan cacian orang yang mencaci tentang Allah dan tidaklah mereka di selewengkan oleh penyeleweng dari kebenaran.

      KESEMBILAN
      Bahwa syarat-syarat untuk menjadi imam sesudah islam dan taklif (dewasa dan berakal) ada lima
-         laki-laki
-         Wara’
-         Ilmu
-         Kesanggupan
-         Suku Quraisy



                                                                                      ( 119)                                                                              
Karena sabda Nabi Muhammad saw, : “Imam-imam itu dari Quraisy.”     
      Apabila terdapat beberapa orang yang mempunyai sifat-sifat yang terdapat tadi. Maka yang menjadi imam ialah orang yang mendapat kepercayaan dan kesetiaan (bai’ah) dari jumlah terbanyak dari penduduk. Dan orang yang menentang keputusan orang banyak itu adalah durhaka.

      KESEPULUH
      Bahwa jikalau sukar terdapat sifat wara’ dan ilmu mengenai orang yang akan memegang jabatan imam itu, sedang untuk menolaknya menimbulkan kekacauan yang sukar di atasi, maka putuskanlah sah dalam pengangkatannya ia menjadi imam, karena kita. Dari pada menimbulkan kekacauan dengan menggantikan nya itu. maka kemelaratan yang di hadapi kaum muslimin adalah lebih banyak dari pada kekurangan yang timbul lantaran syarat-syarat yang menyakinkan akan bertambahnya kemuslihatan itu. maka tidaklah di bongkar pokok kemuslihatan lantaran mengharap
kelebihan-kelebihan yang datang dari kemuslihatan itu. seumpam orang yamg membangun istana lalu membongkar
                                                                                      ( 120 )
kota. Dan diantara kita menetapkan dengan kekosongan negeri tidak ada imam dan dengan kerusakan hukum. Dan itu adalah mustahil.
      Kita menetapkan dengan berjalannya hukum orang-orang pendurhaka di dalam negerinya, karena di pandang perlu, maka bagaimana pula kita tidak menetapkan dengan sah menjadi imam ketika hajat dan di perlukan.
      Kiranya Allah meluruskan perjalanan kita dengan taufiqNya dan menunjukkan kita kepada kebenaran dan menyakinkani kebenaran itu dengan ni’mat keluasan kemurahan dan karuniaNya.










                                                                                      ( 121)

Bab
6
 


                              IMAN DAN ISLAM,HUBUNGAN
                    DAN PEMISAHAN DIANTARA KE
                    DUANYA

      Mengenal iman dan islam, ada tiga masalah :
MASALAH  I

      Berbeda pendapat para ahli agama, mengenai islam, apakah islam itu iman atau lain dari iman, jika lain adakah islam itu berpisah dari iman, di mana islam itu ada tanpa iman, atau islam itu berhubungan rapat dengan iman. Di mana dia mengikuti akan iman?.
      Ada yang mengatakan bahwa keduanya itu satu. Ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua benda yang tidak berhubungan. Dan ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua benda, tetapi berhubungan satu sama lain.




                                                                                      ( 122 )                     
      A.  MENURUT BAHASA                                                            
      Yang benar menurut bahasa ialah, iman itu ibarat dari pada membenarkan, firman Allah Ta’ala (s. Yusuf 17) :      

وما أنت بِمُؤْمِنٍِ لَنَا

“Dan engkau tentu tidak akan beriman (percaya) kepada Kami.”
Dan islam adalah ibarat menyerah dan tunduk dengan yakin, patuh, tidak melawan, tidak enggan dan tidak menentang.
Untuk membenarkan itu, mempunyai tempat khusus yaitu hati, dan lidah adalah pengalih bahasa dari hati.
Adapun menyerah maka itu umum, pada hati, lidah dan anggota badan, tiap-tiap pembenaran dengan hati adalah menyerah, tanpa enggan dan ingkar, begitu pula pengakuan dengan lidah, begitu pula tha’at dan tunduk dengan anggota badan.   

                                                                                     
                                                                                      ( 123 )
Maka menurut bahasa, islam itu lebih umum dan iman itu lebih khusus. Iman adalah ibarat dari bagian yang termulya dari islam. Jadi tiap-tiap membenarkan adalah menyerah dan tidaklah tiap-tiap menyerah itu membenarkan.

  1. MENURUT AGAMA
      Yang benar adalah bahwa agama telah tampil memakai kedua-duanya dalam satu pengertian dan beriring-iringan, dan tampil pula di dalam pengertian yang berlainan dan di dalam pengertian yang masuk satu pada lainnya.
      Adapun yang dalam suatu pengertian firman Allah Ta’ala (s. Adz-Dzariyat 35-36) :

فَأخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيْهَا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ . فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍِ مِّنَ الْمُسْلِمِيْنَ
      “Lalu Kami keluarkan orang-orang beriman yang ada di sana, tetapi kami tidak dapati di sana selain dari sebuah rumah orang yang islam (tunduk kepada Tuhan).”


                                                                                      ( 124 )
Dan telah sepakat, tidak ada disitu selain satu rumah, firman Allah Ta’ala (s. Yunus 84) :
  
                                                                           
يَاقَوْمُ إنْ كُنْتُمْ أَمَنْتُمْ بِالَّلهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُّسْلِمِيْنَ

      “ Hai kaumku! Kalau kamu beriman kepada Allah, hendaklah kepada Nya kamu mempercayakan diri kalau kamu benar-benar orang islam.”    
      Didirikan islam atas lima, yaitu : mengucapkan dua kalimah syahadad, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa di bulan romadhan dan naik haji ke baitullah.
      Pada suatu hari datanglah pertanyaan kepada Nabi saw, tentang iman, maka Nabi Muhammad saw menjawab dengan yang lima itu.
      Adapun pengertian yang belainan, firman allah Ta’ala (s. Al-Hujurat 14) :

قَالَتِ اْلأَعْرَابُ أَمَنَّا قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلَكِنْ قُوْلُوْا أسْلَمْنَا


                                                                                      ( 125 )
      “Orang-orang A’rab (orang-orang dusun) itu berkata : kami beriman, katakana : kamu belum beriman, tetapi katakanlah bahwa kamu islam (tunduk).” Artinya kami telah menyerah pada zhohir.
      Maka yang di maksud dengan iman disini ialah membenarkan hati saja dan dengan islam ia menyerah pada zhohir dengan lidah dan anggota tubuh.
      Maka Jibril as, bertanya kepada Nabi saw, tentang iman, maka Nabi saw menjawab : “bahwa engkau percaya dengan allah, malaikat Nya, kitab-kitab Nya, Rasul-rasulNya, hari akhirat, kebangkitan setelah mati, hisab amalan dan taqdir baik dan buruknya.
      Kemudian Jibril as, bertanya lagi : “Apakah islam itu?.”  maka Nabi Muhammad saw menjawab dengan menyebut yang lima itu.
      Maka di ibaratka disini dengan islam, yaitu penyerahan secara zhohir dengan perkataan dan perbuatan.
      Adapun yang masuk satu kepada yang lainnya (at-tadkhul) sebagaimana yang telah di riwayatkan bahwa Nabi saw di tanya : “amalan apakah yang paling utama?”

                                                                                      ( 126 )
      Maka Nabi saw menjawab : “ islam”
      Bertanya lagi :  “islam manakah yang paling utama?”
      Maka Nabi saw menjawab : “ iman”
      Hadits ini menunjukan kepada adanya perbedaan dan adanya bermasuk-masukkan. Dan itu adalah lebih sesuai bagi pemakaian di dalam bahasa, karena iman adalah lebih sesuai bagi pemakaian  di dalam bahasa, karena iman adalah salah satu dari pada perbuatan dan imanlah yang paling utama dari pada nya. Dan islam itu ialah menyerah, adakalahnya dengan hati, adakalahnya dengan lidah dan adakalahnya dengan anggota badan. Dan yang paling utama ialah yang dengan hati, yaitu membenarkan yang di amai iman.

C.  MENURUT HUKUM SYARIAT
      Islam dan iman itu keduanya adalah mengenai hukum akhirat dan hukum dunia.
      Adapun hukum akhirat, maka dialah yang mengeluarkan kita dari api neraka dan mencegah kita kekal di dalamnya, Nabi Muhammad saw bersabda :


                                                                                      ( 127 )
  
يُخْرِجُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرةٍِ مِن إِيْمَان

      “Akan keluar dari api neraka, siapa yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi dari pada iman.”  
      Telah berselisih pendapat di antara ahli agama. Mengenai hukum ini, berdasarkan kepada apa?. Mereka memajukan pertanyaan tentang itu dengan kata-kata  “Apakah iman itu?” ada yang mengatakan bahwa iman itu semata-mata ikatan dengan hati, ada yang mengatakan bahwa iman itu ikatan dengan hati dan pengakian dengan lidah, dan ada yang mengatakan dengan menambah yang ketiga yaitu mengerjakan denan anggota badan.

      TINGKAT KE I
      Mengumpulkan tiga perkara tadi, maka tidak ada perselisihan lagi bahwa tempatnya di dalam surga.

      TINGKAT KE 2
      Ialah terdapat dua dan sebagian dari yang ketiga, yaitu :

                                                                                      ( 128 )

Perkataan, ikatan dengan hati dan sebagian amal perbuatan,

      TINGKAT KE 3
      Bahwa ada pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lidah dan tidak berbuat amal dengan anggota badan.

      TINGKAT KE 4
      Bahwa adanya pembenaran itu dengan hati, sebelum di ucapkan dengan lidah atau di kerjakan dengan anggota badan, lalu dia mati, maka di katakana ; “Dia itu mati sebagai mu’min.”  Nabi Muhammad saw bersabda :

يُخرجُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَال ذَرةٍِ مِنَ الاِيْمَانِ

      “Akan keluar dari neraka, orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi dari pada iman.”

      TINGKAT KE 5
      Bahwa membenarkan dengan hati dan mendapat kesempatan waktu sebelum mati untuk mengucapkan dua –

                                                                                      ( 129 )

Kaliamh syahadat serta mengetahui akan wajib nya, tetapi tidak di ucapkannya, maka dalam hal ini mungkinlah dijadikan ke engganannya dari pada mengucapkan itu seperti keengganannya dari pada mengerjakan sholat lalu kita katakana bahwa dia itu mu’min, tidak kekal dalam neraka.
      Iman : ialah pembenaran semata dan lisan ialah penterjemah bagi iman, maka haruslah iman itu ada dengan sempurna sebelum lisan, sehingga di terjemahkan oleh lisan.
      Ini jelas benar, karena tidaklah yang menjadi pegangan selain mengikuti apa yang di kandung oleh kata-kata yang di ucapkan oleh lisan, bahwa iman ialah ibarat dari pada membenarkan dengan hati.
      Dan tidaklah iman itu hilang dari hati dengan diam mengucapkan yang wajib itu, sebagaimana tidak hilang dengan berdiam diri dari pada perbuatan yang wajib.

      TINGKAT KE 6
      Bahwa mengucapkan dengan isan :

لاَإِلَهَ إِلاَّاللّه مُحَمَّدَ رسُوْلُ اللّه

                                                                                      ( 130 )
Tetapi tidak membenarkan dengan hati, maka orang itu menurut hukum akhirat termasuk orang kafir dan kekal di dalam neraka. Dan tidak ragu mengatakan bahwa pada hukum dunia yang  berhubungan dengan iman dan wali, orang itu termasuk orang islam karena isi hatinya tidak se orangpun mengetahuinya. Dan kita harus menyangka bahwa apa yang di ucapkannya dengan lisannya, tidak lain dari yang terlipat di dalam lipatan hati.

MASALAH KE II

      Kalau ada mengatakan bahwa ulama’ terdahulu (ulama’ salaf) telah sepakat bahwa iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan tha’at dan berkurang dengan ma’siat. Apabila pembenaran (tashdiq) itu iman maka tidaklah tergambar padanya berlebih dan berkurang.
      Bahwa ulama’ salaf itu adalah saksi-saksi yang adil, tidak ada sepatahpun dari pada perkataan mereka yang menyeleweng. Apa yang mereka sebut itu benar. Hanya persoalannya ialah pada memahaminya.


                                                                                      ( 131)
      Pada perkataan ulama’ salaf itu, menunjukan bahwa amal perbuatan tidaklah sebagian dari pada iman dan sendi-sendi adanya. Tetapi adalah tambahan kepadanya. Di mana iman itu bertambah denga adanya, yang bertambah itu ada yang berkurangpun ada. Dan sesuatu itu tidaklah bertambah dengan dirinya sendiri. Maka tidak boleh di katakana bahwa manusia itu bertambah kepalanya. Tetapi di katakana : bertambah janggutnya dan gemuknya, dan tidak boleh di katakana bahwa sholat itu bertambah dengan ruku’ dan sujud, tetapi bertambah dengan adab dan sunah-sunah.
      Bahwa iman adalah nama yang bersekutu, dipakai dari tiga segi :

      PEMAKAIAN PERTAMA
      Dipakai untuk membenarkan dengan hati, atas jalan I’tiqad tanpa pembukaan dan pelapangan dada, yaitu iman orang awam selain dari orang-orang tertentu (orang-orang khawwash).
      I’tiqad ini adalah suatu ikatan pada hati, sekali erat dan kuat, sekali lemah dan luntur.


                                                                                      ( 132 )  
      PEMAKAIAN KE DUA
      Bahwa yang di maksud dengan iman itu ialah pembenaran dan amal perbuatan, seperti sabda Nabi Muhammad saw :

أَلاِْيْمَانُ بِضع وَسَبْعُوْنَ بَاباًَ

      “Iman itu lebih tujuh puluh pintu.”
Apabila masuklah perbuatan dalam maksud kata-kata iman. Maka tidak tersembunyi bertambah dan berkurang iman itu. adakah membekas yang demikian pada bertambahnya iman yang semata-mata artinya pembenaran.

      PEMAKAIAN KE TIGA
      Bahwa yang di maksud dengan iman itu, pembenaran keyakinan atas jalan kasyaf (terbuka hijab). Tebuka dada dan bermusyahadah dengan nur matahari,
      Ini adalah bagian yang terjauh dari pada menerima bertambahnya iman itu. tetapi bahwa urusan keyakinan yang tak ada ragu padanya, adalah berbeda ketetapan hati kepadanya.
                                                                                      ( 133 )
Maka tidaklah ketetapan hati tentang dua lebih banyak dari satu, seperti ketetapannya tentang alam itu di jadikan, lagi baharu, meskipun tak ada keraguan mengenai suatupun dari pada kedua contoh tadi, tetapi keyakinan itu berbeda tentang tingkat kejelasan dan ketetapan hati kepadanya.
      Dan telah jelas pada segala pemakaian kata-kata iman itu. bahwa apa yang dikatakan mereka dari hal bertambah dan berkurang nya iman, adalah benar, sebagaimana tidak.

MASALAH KE III

      Kalau anda bertanya : Apakah caranya perkataan ulama’ salaf : “ Saya seorang mu’min insyaAllah ( jika di kehendaki Allah ).” Sebab kata-kata bersyarat atau istisna’ itu (jika di kehendaki Allah) adalah keraguan.
      Dan keraguan di dalam ke imanan itu kufur, dan ulama’-ulama’ salaf semuanya adalah tidak mau menjawab tegas dengan ke imanan dan mereka itu sangat berhati-hati dari padanya.



                                                                                      ( 134 )
      Sufyan Ats-Tsuri berkata :  barang siapa mengatakan “saya mu’min pada Allah” maka dia itu termasuk orang yang berbohong. Dan barang siapa mengatakan “saya mu’min sebenar-benarnya,”  maka dia itu bid’ah.
      Maka bagaimana dia bohong, padahal dia mengetahui bahwa dia seorang mu’min pada dirinya ? barang siapa mu’min pada dirinya maka adalah dia mu’min pada Allah. Seumpama : orang yang suka menolong dan pemurah pada dirinya dan ia mengetahui, akan demikian. Niscaya adalah dia demikian pula pada Allah, demikian juga orang yang bergembira atau berduka atau mendengar atau melihat.
      Jika seseorang di tanya : “apakah saudara hewan ? tentu saja tidak baik ia menjawab : saya hewan insya Allah.”
      Tatkala Sufyan Ats-Tsuri  berkata yang demikian, lalu di tanyakan kepadanya : jadi apakah yang kami katakana ?. Sufyan Ats-Tsuri menjawab :” katakanlah, kami beriman dengan Allah dan apa yang di turunkan kepada kami.”
      Jadi, apakah bedanya antara dia mengatakan : “ kami beriman dengan Allah dan apa yang di turunkan kepada kami.” Dan dia mengatakan : “Aku mu’min.”


                                                                                      ( 135 )
      Al-Hasan di tanya : “Apakah engkau mu’min?.”  Al-Hasan menjawab : “Insya Allah.”
      Lalu Al-Hasan di tanya : “mengapa engkau membuat bersyarat mengenai iman. Hai Al-Hasan?.”
      Al-Hasan menjawab: “Aku takut mengatakan  “ya” nanti Allah mengatakan, engkau bohong hai Hasan!. Maka berhaklah atas diriku ‘azab.”
      Seterusnya Al-Hasan berkata: “Apakah yang memberikan kepercayaan bagiku, bahwa Allah telah melihat padaku sebagian dari pada yang di benciNya. Maka di kutukiNya aku. Kemudian Ia berfirman: “pergilah! Aku tidak menerima amalanmu.” Maka aku telah berbuat amalan pada bukan tempatnya.
      Apakah arti segala kata-kata bersyarat ini ?. jawabnya, bahwa kata-kata bersyarat ini benar. Mempunyai empat segi. Dua segi bersandar kepada keraguan, tidak pada pokok ke imanan, tetapi pada kesudahan atau kesempurnaan dari iman itu. dan dua segi lagi tidak bersandar kepada keraguan.




                                                                                      ( 136 )
      SEGI PERTAMA
      Yang tidak bersandar kepada menentang keraguan, ialah menjaga keyakinan, karena di takuti dari pada sifat mengakui diri sudah bersih. Firman Allah Ta’ala (s. An-Najm 32) :

فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ
      “Jaganlah kamu menganggap dirimu orang bersih.”

Dan firman Allah Ta’ala (s. An-Nisaa’ 49) : 

أَلَمْ تَرَ إِلَي الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ أَنْفُسَهُمْ
      “Tidaklah engkau perhatikan orang-orang yang menganggap bersih dirinya sendiri.”

      Firman Allah Ta’ala (s. An-Nisaa’ 50) :

أُنْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُوْنَ عَلَي اللّه اْلكَذِبَ
      “Perhatikanlah bagaimana mereka membuat kedustaan terhadap Allah.”

                                                                                      ( 137 )
      Seorang ahli hikma (Al-Hakim) berkata: “ Kebenaran yang keji itu adalah manusia yang memuji dirinya.”
      Iman itu termasuk diantara sifat kemuliaan  yang tinggi. Keyakinan dengan iman itu adalah pembersihan diri secara mutlak. Membuat kata-kata bersyarat pada iman, seolah-olah memindahkan dari pengertian pembersihan yang biasa di pakai. Seumpama di tanya kepada seorang: “apakah kamu dokter? Ataukah kamu seorang ahli fiqih? Ataukah kamu seorang ahli tafsir?.”
      Lalu dia menjawab: “Ya, insyaAllah!.” Bukanlah untuk menunjukkan ada keraguan, tetapi untuk mengeluarkan diri dari pengakuan, diri bersih.
      Kata-kata ini memang kata-kata yang menunjukkan kepada keraguan-keraguan dan kelemahan dari segi bunyinya. Tetapi maksuknya adalah untuk melemahkan salah satu dari pada apa yang mungkin timbul dari kata-kata itu. yaitu: merasa diri bersih.
      Dengan pena’wilan ini, kalau di tanya mengenai sifat yang tercela, maka tidak baik di buat kata bersyarat.


                                                                                      ( 138 )
      SEGI KEDUA
      Beradap sopan dengan mengingat Allah (berdzikir kepada Allah) dalam segala hal serta mengembalikan seluruh persoalan kepada kehendakNya.
      Sesungguhnya Allah telah mengajarkan adab kesopanan kepada Nabi Nya, firman Allah Ta’ala (s. Al-Kahf 23-24) :

وَلاَ تَقُوْلَنَّ لِشَاْْْْيءٍِ إِنِّي فَاعِلٌُ ذَلِكَ غَدََا. إِلاَّ أَنْ يَشَأَ الله
      “Janganlah engkau mengatakan dalam sesuatu hal, bahwa aku akan mengerjakan itu besok, melainkan dengan alasan, jika Allah menghendaki.
     
      Dan firman Allah Ta’ala (s. Al-Fatah 27) :

لَتَدْخُلَنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَام إِنْ شَأَ الله أٰمِنِيْنَ مُحَلِّقِيْنَ رُؤسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَ
      “Sesungguhnya kamu akan memasuki masjid suci (masjidil harom), jika Allah menghendaki, dengan perasaan tentram, bersyukur dan bergunting rambut.”

                                                                                      ( 139
      Allah maha mengetahui bahwa kaum muslimin akan masuk, tidak boleh tidak, karena Dia yang menghendakinya. Tetapi maksudnya adalah mengajari Nabi dengan demikian, dari itu Nabi saw beradab bersopan santun dalam segala hal yang di beritakan pada Nya,baik hal yang sudah di maklumi atau yang masih di ragukan. Sehingga kalau Ia memasuki tanah pekuburan, lalu mengucapkan:

أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍِ مُؤْمِنِيْنَ وَ إِناَ إِنْ شَأَ الله بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
      Mengikuti mereka yang sudah meninggal itu tidaklah di ragukan lagi, tetapi menurut adab kesopanan meminta mengingat Allah dan mengikatkan segala sesuatu kepadaNya. Dan kata-kata Insya Allah itu menunjukan kepada yang di maksud tadi, sehingga menjadi terkenal pemakaiannya sekarang. Sebagai tanda kegembiraan dan pengharapan.
      Kalau seseorangberkatakepada anda ; “si fulan sembuh dari sakitnya.” Lalu anda menjawab : “Insya Allah.” Maka itu berarti kegembiraan, sehingga jadilah kalimah Insya Allah berkisar dari arti keraguan kepada arti kegembiraan.
                                                                                      ( 140 )
      SEGI KETIGA
      Adalah sandarannya keraguan, artinya : saya mu’min sebenarnya Insya Allah. Firman Allah kepada golomgan tertentu, kepada diri mereka itu sendiri.

أُوْلَئِكَ هُمْ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًَّا
      “Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman ( s. Al-Anfal 4 ).”       
      Maka mereka terbagi kepada dua bagian. Dan ini kembali kepada keraguan mengenai kesempurnaan iman. Tidak mengenai pokok iman.
      Tiap-tiap manusia ragu mengenai kesempurnaan imannya.dan itu tidaklah membawa kepada kufur.
      Ragu mengenai kesempurnaan iman adalah benar dari dua segi :

      PERTAMA : Dari segi bahwa nifaq itu menghilangkan kesempurnaan iman. Dan nifaq adalah tersembunyi. Takdapat di pastikan terlepas dari padanya.


                                                                                      ( 141 )    
      KEDUA : Dari segi bahwa iman itu sempurna dengan amalan-amalan tho’at dan amalan itu tiada di ketahui adanya dengan sempurna.
      Mengenai amalan perbuatan firman Allah Ta’ala (s. Al-Hujurat 15) :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ أُوْلئكَ هُمْ الصَّدِقُوْنَ
      “Orang-orang yang sebenarnya beriman itu hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan Rasul Nya, kemudian itu tidak perna ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan dirinya, itulah orang-orang yang benar.’
      Maka terdapatlah keraguan pada  “yang benar”.  Begitu pula firman Allah Ta’ala (s. Al-Baqoroh 177) :

وَلَكِنَّ اْلبِرَّ مَنْ أٰمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ اْلاٰخِرِ وَاْلمَلٰئِكَةِ وَاْلكِتَبِ وَ النَّبِيِّنَ
                                                                                      ( 142 )
      “Tetapi kebaikan ialah kebaikan 0rang yang beriman kepada Allah, hari akhir, Malaikat-Malaikat, kitab-kitab dan Nabi-nabi,’
      Dan firman Allah Ta’ala (s. Al-Mujadalah 11) :

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا العِلْمَ دَررَجٰتٍِ

      “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi.”
      Dan firman Allah Ta’ala (s. Al-Hadid 10) :

لاَيَسْتَوِيْ مِنْكُمْ مَّنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَ قَاتَلَ

      “Tiada sama di antara kamu, orang yang membelanjakan hartanya dan berperang sebelum kemenangan.”
     



                                                                                      ( 143 )
      Dan firman Allah Ta’ala (s. Ali-Imron 163) ;


هُمْ دَرَجٰتٌُُ عِنْدَ اللهِ

      “Tingkatan mereka berbeda-beda di sisi Allah.”

      SEGI KE EMPAT
      Yaitu bersandar juga kepada keraguan, yang demikian itu, karena takut kepada buruk kesudahan (suul khotimah), karena tak ada yang tahu, apakah iman nya itu selamat ketika mati atau tidak. Jika khatimah nya itu di sudahi dengan kufur, maka binasalah amalannya yang lalu, karena itu terletak pada keselamatan akhir.
      Kalau di tanya seseorang yang berpuasa pada pagi hari, tentang shah puasanya di hari itu, maka dia menjawab : “ saya benar-benar berpuasa !” jika dia berbuka tengah hari sesudah itu, maka nyatalah bohongnya. Karena shahnya puasa itu adalah terletak pada kesempurnaan puasa sampai terbenam matahari pada akhir siang itu.

                                                                                      ( 144 )
      Bagaimana siang itu menjadi tempat bagi kesempurnaan puasa. Maka umur adalah tempat bagi kesempurnaan shah iman. Dan menyifatkan shah nya sebelum berakhir hari itu. di dasarkan akan terus bersambung dari yang sudah ada. Adalah di ragukan, dan bagaimana kesudahannya, di kuatiri.
      Dari itu, menangislah kebanyakan orang-orang yang takut, karena kesudahan (Al-Khatimah) itu adalah buah dari qodlo yang dahulu dan kehendak yang azali. Yang tidak lahir selain dengan lahirnya apa yang di qodlo kan dan tak ada jalan untuk mengetahuinya bagi seorang pun dari manusia. Maka takut kepada al-khatimah adalah seperti takut kepada yang lampau. Kadang-kadang zhohor apa yang telah ada dahulu berlawanan dengan yang sekarang. Siapakah yang tahu, kiranya dia termasuk diantara orang-orang yang telah ada dahulu. Kebaikan baginya dari pada Allah Ta’ala.
      Ada orang yang mengatakan mengenai arti firman Allah Ta’ala. (s. Qof 19) :

وَجَأَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِاْلحَقِّ


                                                                                      ( 145 )
      “Datanglah sakratul maut dengan sebenarnya.”
      Maksudnya, dengan yang dahulu, maka sakratul maut itu melahirkan yang dahulu itu.
      Setengah ulama’ salaf berkata : “ sesungguhnya di timbang dari pada amalan itu khatimahnya.”
      Abu Darda r.a. bersumpah ; “ Demi Allah, tiada seorang pun yang merasa tentram dari pada imannya di cabut, melainkan di cabutlah imannya itu.”
      Ada yang mengatakan bahwa sebagian dari pada dosa itu ialah dosa yang siksaannya “buruk kesudahan.” (su-ul khotimah).
      TELAH TAMMAT KITAB INI, DENGAN PUJIAN KEPADA ALLAH  TA’ALA DAN ROHMATNYA KEPADA JUNJUNGAN KITA NABI MUHAMMAD DAN KEPADA SEKALIAN HAMBA NYA YANG PILIHAN.


GHOZALI IBRAHIM ( RAZALI )

Back To Top